BISMILLAH

BISMILLAH
" Awali setiap aktivitas dengan kalimat ini "

02 Maret 2009

" Menyelamatkan " Lintang

I. PENDAHULUAN

Lintang, dalam novel LASKAR PELANGI karya ARUL CHANDRANA eh maaf maksud saya ANDREA HIRATA adalah sosok yang cerdas tapi sayang dia berasal dari keluarga yang tidak mampu alias miskin, dimana ayahnya menjadi sosok kepala rumah tangga ( Totalus perfectus )karena dia menanggung 14 anggota keluarga yang kebanyakan orang2 tak berdaya. Akan tetapi walaupun begitu ayah Lintang bukan sosok yang tak peduli pada masa depan anak terutama pendidikanya, maka sang ayah ini dengan segala kekuranganya tetap bertekad menyekolahkan Lintang dengan harapan besar minimal Lintang tidak mengikuti jejaknya menjadi buruh kopra.(1*)

Akan tetapi kawan, ternyata keberuntungan Lintang tersebut berakhir ketika menjelang akhir masa SMPnya karena ayah tercintanya tadi meninggal dunia sehingga akhirnya Lintang harus "DO" alias drop out/putus sekolah karena dia harus mengambil alih peran ayahnya sebagai kepala rumah tangganya atas 13 keluarga lainya.

Demikianlah tadi kawan sebuah fragmen kehidupan Lintang dalam novel LASKAR PELANGI, nah kawan di sini saya tidak akan membuat resensi novel tersebut tapi saya akan menyampaikan sebuah wacana agar fenomena seperti Lintang (baik yang kecerdasanya seperti dia maupun yang lebih hebat maupun yang di bawah standarnya) tidak terjadi. Sebelumnya saya akan menyampaikan fragmen lain yang mana ini bukan fiksi/hanya dari novel tapisebuah kenyataan, mau tahu maka silahkan ketik reg spasi terus/klik di www.antara lain :
1. Sekitar 8.000 anak di bawah umur yang sudah bekerja mengalami drop out (DO) atau putus sekolah. Akibatnya, mereka tidak bisa menyelesaikan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketua Pansus Raperda Perlindungan Pekerja Anak DPRD Jateng Dulmanan menyatakan, kenyataannya angka tersebut diperkirakan lebih besar lagi.(2*)
2. Dari data Dinas P dan K Jateng terungkap bahwa pada tahun pelajaran 2004/2005 jumlah siswa jenjang TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK di Jateng mencapai 5.819.037 orang. Anak-anak itu menempuh pendidikan di 37.084 sekolah. Dari jumlah itu, angka putus sekolah di jenjang SD mencapai 0,29 %, SMP (1,05 %); SMA (0,90 %); dan SMK (1,33 %).(2*)

Nah kawan sebelum kita membicarakan wacana yang saya tawarkan untuk menyelamatkan sosok Lintang maupun sosok yang sefenomena dengan Lintang dalam kesempatan belajar atau bahkan menyelamatkan generasi dari ketidak berdayaan mereka untuk merasakan PENDIDIKAN maka mari kita coba analisa apa yang menjadi penyebabnya, Are u ready friend ? OK let's go ►

II. AKAR MASALAH

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan Pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neo-liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi Pemerintah—neo-liberalisme justru sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Salah satu bentuk yang menunjukan kebijakan pendidikan yang pro liberalisme adalah dengan disahkanya RUU BHP menjadi UU BHP. Terkait UU BHP, banyak kalangan menilai bahwa UU ini lebih untuk melegalisasi ‘aksi lepas tanggung jawab’ Pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Memang, anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno. Ia menyatakan, UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Selain itu, Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menambahkan, ”Di UU BHP ini justru diatur, biaya yang ditanggung mahasiswa paling banyak sepertiga biaya operasional,” ujar Fasli. Selain itu, menurutnya, BHP wajib menjaring dan menerima siswa berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi, sekurangnya 20 persen peserta didik baru (Dikti.org, 18/12/08).

Namun, yang perlu dipertanyakan: Pertama, bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan? Padahal Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan cuma-cuma alias gratis kepada rakyatnya—karena memang itu hak mereka—dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kedua, jatah 20 persen kursi untuk siswa/mahasiswa miskin tentu tidak memadai dan tidak adil. Sebab, di negeri ini rakyat miskin yang tidak bisa sekolah, apalagi sampai ke perguruan tinggi, jumlahnya puluhan juta. Menurut data Susenas 2004 saja, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76,0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41,5 juta orang atau sebesar 55 persen. Lalu menurut data Balitbang Depdiknas 2004, yang putus sekolah di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak; yang putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Dengan terjadinya krisis ekonomi yang parah saat ini, pasti anak-anak putus sekolah semakin berlipat jumlahnya. Artinya, UU BHP ini tetap tidak menjamin seluruh rakyat bisa menikmati pendidikan.

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neo-liberalisme global semakin melengkapi kegagalan Pemerintah sekular saat ini.

III. SOLUSI

Beda dengan neo-liberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus at-Ta‘lîm al-Manhaji, hlm. 12).

Mengapa demikian? Sebab, negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, dan papan) yang dijamin secara tak langsung oleh negara, pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin secara langsung oleh negara. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Nabi saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu. (HR Muslim).

Setelah Perang Badar, sebagian tawanan musush yang tidak sanggup menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijmak Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muazin, dan imam shalat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non-Muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah an-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun, perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya, untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu; seperti wakaf untuk ilmuwan hadis, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus untuk guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu al-Quran. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Adapun melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non-formal yang juga gratis atau murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; an-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka Negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh Negara dengan dana dari dharîbah (pajak) yang dipungut dari kaum Muslim (Al-Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8/1/2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber:

1.Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).
2.Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).
3.Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)
4.Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan
Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan Pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan Pemerintah yang bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya; bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.


KETERANGAN:
1. Baca selengkapnya di novel LASKAR PELANGI.
2. Lihat WWW.indonesia.go.id (23-03-07)

Baca Selengkapnya......

01 Maret 2009

Data korban pornografi



Bahkan menurut hasil analisis terbaru dari IWF (Internet Watch Foundation), sekitar 10 persen korban pornografi anak yang difoto secara tak senonoh di internet berusia di bawah 2 tahun. Adapun presentase terbesar sejumlah 37 persen berusia antara 7 sampai 10 tahun.

Yang cukup menggembirakan, jumlah domain situs internet yang memajang pornografi anak turun untuk pertama kalinya.

Menurut IWF, domain berbahasa Inggris yang memajang pornografi anak turun jumlahnya dari 3052 di tahun 2006 menjadi 2755 pada tahun 2007 lalu. Kebanyakan situs tak senonoh ini berbasis di Rusia dan Amerika Serikat.

Sindo Edisi Sore
Kamis, 10/05/2007
Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKN) M Masri Muadz menyatakan, berdasarkan hasil survei perusahaan kondom pada 2005 di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang hingga Merauke, tercatat sekitar 40%–45% remaja antara 14–24 tahun menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah berhubungan seks pranikah.

JAKARTA (SINDO) –’’Ini cukup mengejutkan. Sebanyak 60% remaja mengaku tidak mengetahui informasi tentang penyakit menular seksual. Bahkan, data BKKBN menunjukkan bahwa 60% remaja sudah ingin mendapatkan pelayanan KB. Padahal, secara aturan,ini melanggar hukum karena alat kontrasepsi hanya boleh diberikan kepada pasangan yang menikah,”ujar Masri, kemarin.

Hal itu tentu menjadi tantangan pemerintah terkait dengan persoalan narkoba dan HIV/AIDS yang banyak menyerang usia remaja. Masri menjelaskan, total jumlah pasangan usia subur sebesar 15% dari total populasi. Jumlah remaja sekitar 20% atau 60 juta orang. Sementara itu, mengenai HIV/AIDS, tercatat per Maret 2007 terdapat 8.988 kasus AIDS dan 5.640 kasus HIV positif di Tanah Air.

Fatalnya, sekitar 8 ribu atau 57,1% kasus HIV/AIDS terjadi pada remaja antara 15–29 tahun (37,8% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak aman dan 62,2% terinfeksi melalui penggunaan narkoba jarum suntik). Menurut dia, angka temuan penyakit menular mematikan itu masih jauh dari angka sebenarnya.

Diperkirakan,angka riil pengidapnya adalah angka temuan dikalikan 1.000 atau sekitar 14,5 juta orang. Sekitar 8 juta di antaranya adalah remaja. Berdasarkan data Badan Nasional Narkotika (BNN), sebanyak 2,3 juta orang sudah mengonsumsi narkoba dan sebanyak 78%-nya adalah remaja.

’’Salah satu pesan kami kepada remaja bagaimana mengatakan tidak kepada sex bebas dan narkoba. Sebab, kalau sudah terjangkit, akan sulit untuk selamat,”ujarnya.

Imbas dari perilaku sex bebas, ujar Masri, setiap tahun diperkirakan ada 2,3 juta kasus aborsi, yang 20% di antaranya dilakukan remaja. Dia mengungkapkan, berdasarkan penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sebanyak 27% permintaan aborsi aman dilakukan remaja.

Dia menjelaskan, informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja lebih banyak remaja dapatkan dari teman sebayanya (80%) dibandingkan orangtua atau guru. ’’Jadi mereka curhat kalau sudah melakukan hubungan seksual,kena HIV/AIDS, atau kenal narkoba kepada temannya,”ujarnya.

Data free sex

Karena itu, tegas dia, BKKBN membuat pusat-pusat informasi dan konseling yang dikelola remaja sendiri. Cara itu dinilai efektif dan membuat remaja menjadi lebih terbuka. Namun, orangtua dan sekolah juga harus mendukung itu agar remaja mendapatkan akses informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi.

Hingga saat ini, pihaknya sudah membuka 2.700 pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIKRR). ’’PIKRR dibentuk sedemikian rupa ala remaja dan dikemas layaknya kehidupan remaja, melalui band musik, seni, outbound,dan lainnya,”jelasnya.

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Lalu Sudarmadi menyayangkan budaya timur masyarakat yang masih menutup mata terhadap kondisi riil yang ada pada remaja ini.Padahal, kondisi ini bisa menjadi bencana nasional untuk ke depannya. ’’Sebuah klinik bisa lebih dari 27% mendapat permintaan aborsi dari remaja yang belum menikah,’’ ucapnya.(abdul malik)

Baca Selengkapnya......