BISMILLAH

BISMILLAH
" Awali setiap aktivitas dengan kalimat ini "

12 Juni 2009

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “



Definisi Aurat

Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”

Batasan Aurat bagi Wanita

Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].

Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.

Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]

Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]

Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.

Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]

[1] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86

Baca Selengkapnya......

05 Juni 2009

INGAT, SETIAP PILIHAN AKAN DITANYA OLEH ALLAH!



[Al-Islam 450] Pemilu 2009 sudah digelar. Kamis, 9 April 2009, rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim serentak melakukan pencontrengan tanda partai/gambar caleg yang menjadi pilihannya, meski sebagian mereka ada yang lebih memilih ‘golput’.

Sejak awal Pemilu 2009 ini diduga bakal rumit. Pemilu 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan: anggaran biaya yang besar; proses pembahasan UU Pemilu yang cukup alot, verifikasi parpol calon peserta yang rumit, pengesahan 38 parpol peserta Pemilu yang demikian banyak (melebihi parpol peserta Pemilu pertama tahun 1955), penetapan jumlah ‘suara terbanyak’ oleh MK untuk para caleg yang menuai perdebatan, serta munculnya sejumlah kasus teknis seperti kemungkinan terlambatnya pasokan logistik Pemilu ke sejumlah derah hingga dugaan adanya manipulasi seputar DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Pada hari H pelaksanaan pemungutan suara juga rumit. Bayangkan, pemilih harus membuka kertas suara seukuran halaman satu muka koran yang di dalamnya terdapat daftar 38 parpol dan ratusan nama caleg. Pemilih bisa pusing dibuatnya. Dari sini potensi suara tidak sah menjadi makin besar.

Selain rumit, Pemilu sekarang juga menyimpan potensi ledakan masalah sosial, yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal menjadi anggota legislatif. Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.

Ini tentu berbahaya. Bahayanya adalah jika para caleg yang gagal tidak bisa menerima kegagalan. Lalu karena frustasi, ia tidak bisa menahan diri dan bahkan melibatkan massa pendukung untuk memprotes KPU, MK atau pihak lain. Pintu chaos bisa saja terbuka. Tentu saja, semua ini tidak diharapkan.

Tanggung Jawab di Akhirat

Tidak sebagaimana rumitnya penyelenggaraan Pemilu dalam sistem demokrasi seperti di atas, sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Bukankah dalam sistem sekular hukum-hukum Allah selalu disingkirkan? Semakin kokohnya sistem sekular tentu juga akan semakin memperpanjang penderitaan kaum Muslim. Bukankah sistem sekular memang telah mengakibatkan umat ini terus menderita, justru di tengah-tengah kekayaan mereka yang melimpah-ruah? Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT.

Karena itu, dengan dasar keimanannya kepada Allah SWT, seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw. Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

]وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[

Siapa saja yang mengerjakan perbuatan baik, sekecil apapun, ia akan melihat balasan kebaikannya. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan buruk, sekecil apapun, ia akan melihat balasan keburukannya (QS al-ZaIzalah [99]: 8).

Dengan demikian, setiap Muslim wajib mengetahui status hukum syariah atas setiap perbuatan/pilihan yang hendak dia lakukan; apakah termasuk haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah (halal). Lima tolok-ukur hukum inilah yang harus dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan dunianya, bukan yang lain, semisal asas kemanfaatan. Jika asas manfaat yang dijadikan ukuran untuk menetapkan status hukum perbuatan manusia, ini sama saja dengan menjadikan hawa nafsu dan akal sebagai sumber hukum. Sikap demikian jelas batil dan dosa besar di sisi Allah SWT. Sebab, hanya Allahlah Al-Hâkim (Pemilik kedaulatan untuk memberikan status hukum atas setiap perkara), sebagaimana firman-Nya:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ[

Sesungguhnya hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah (QS al-An’am [6]: 57).

Lebih dari itu, setiap sikap dan pilihan, termasuk dalam Pemilu, akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT kelak:

]أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى[

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS al-Qiyamah [75]: 36).

Bukan Sekadar Memilih Orang

Terkait dengan Pemilu, dalam satu kesempatan bertepatan dengan Peringatan Maulid Rasul saw. beberapa waktu lalu, Wapres RI Jusuf Kalla pernah menghimbau, ”Pilihlah pemimpin seperti Nabi saw.; pemimpin yang baik perlu untuk memperbaiki legislasi (pembuatan undang-undang, red.).” (Republika, 18/3).

Tentu benar, memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. Dalam konteks negara, jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara. Dengan kata lain, hanya dengan syariah Islamlah Nabi saw. saat itu mengatur masyarakatnya.

Karena itu, seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mengapa? Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.

Yakinlah bahwa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dengan ‘mengubah’ (mengganti) sosok pemimpinnya, tetapi juga mengubah sistem/aturan yang dijalankannya; yakni dari sistem sekular—sebagaimana saat ini—ke sistem Islam, yang diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam negara. Hal ini penting karena satu alasan: menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Alasan lainnya, karena sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya—saat ini telah terbukti rusak dan gagal menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan keadilan bagi semua pihak. Logikanya, buat apa kita mempertahankan sistem yang telah terbukti rusak dan gagal? Padahal jelas Allah SWT telah menyediakan sistem yang baik, yakni sistem syariah:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[

Sistem hukum Jahiliahkah yang kalian inginkan? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin (QS al-Maidah [5]: 50).

Jangan Pasif

Tentu bisa dianggap tidak bertanggung jawab atas nasib negeri ini jika dalam menghadapi Pemilu kita hanya duduk manis seraya melipat tangan di dada, tidak berbuat apa-apa demi perubahan. Akan tetapi, tentu tidak bijak pula jika Pemilu seolah dianggap ‘obat mujarab’ yang pasti menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika yang diinginkan adalah perubahan semu dan sesaat (sekadar pergantian orang-orang yang duduk di struktur pemerintahan dan di DPR), mungkin iya. Namun, jika yang dikehendaki adalah perubahan hakiki dan mendasar (dari sistem sekular ke sistem yang berlandaskan syariah Islam), maka masuk dalam pusaran sistem demokrasi justru sering melahirkan bahaya nyata: pengabaian terhadap sebagian besar hukum-hukum Allah SWT. Pasalnya, demokrasi memang sejak awal menempatkan kedaulatan (kewenangan membuat hukum) berada di tangan manusia (rakyat), bukan di tangan Allah SWT. Akibatnya, hukum-hukum Allah SWT selalu tersingkir, dan hukum-hukum buatan manusialah yang selalu dijadikan pedoman. Inilah yang sudah terbukti dan disaksikan secara jelas di dalam sistem demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini.

Karena itu, ‘Pesta Demokrasi’ alias Pemilu (yang sekadar diorientasikan untuk memilih orang) tidak seharusnya melalaikan umat Islam untuk tetap berjuang di dalam mewujudkan sistem kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dll) yang berdasarkan syariah Islam. Umat Islam tidak boleh pasif! Apakah kita akan berdiam diri, tidak membela hukum-hukum Allah SWT yang sudah begitu lama dicampakkan? Bukankah kaum Muslim wajib hidup dengan tuntunan (syariah Islam) yang haq? Jika memang kita sedang berjuang untuk menegakkan syariah Allah SWT dan mengembalikan kehidupan Islam, apakah langkah perjuangan kita sudah benar mengikuti manhaj Rasulullah saw.? Ataukah sikap pragmatis telah menjadi penyakit yang menjangkiti diri kita dalam perjuangan?

Marilah kita merenungkan dengan baik firman Allah SWT berikut ini agar sikap dan pilihan kita tidak melahirkan madarat yang lebih dahsyat, yakni azab-Nya:

]قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا () الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا[

Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu ihwal orang-orang yang paling merugi karena perbuatannya? Mereka itulah yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS al-Kahfi [18]:103-104).

Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah dan taufik atas umat ini, yang bisa menggerakkan mereka untuk aktif dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semoga Allah SWT pun selalu membimbing umat ini agar senantiasa menapaki manhaj perjuangan Rasulullah saw., sejak memulai dakwahnya di Makkah hingga berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah, sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. []

KOMENTAR:

Presiden SBY: Mengemplang utang luar negeri itu tidak punya harga diri (Koran Tempo, 7/4/2009) Bagaimana dengan tetap menghamba kepada pihak asing dengan terus menambah utang baru?!

Baca Selengkapnya......

Pendidikan Mahal, Buah Pemerintahan Kapitalis

[Al-Islam 453] Mulai tahun 2009 ini masyarakat dijanjikan sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP. Janji yang mulai diiklankan sejak masa tenang Pemilu lalu ini mendapat sambutan baik dari masyarakat. Masyarakat mulai merenda angan: anak-anak mereka akan bisa mengenyam pendidikan minimal hingga kelas IX atau tamat SMP.

Sayangnya, janji itu berlaku untuk sekolah negeri. Padahah faktanya, banyak siswa yang tidak tertampung oleh sekolah negeri dan terpaksa harus bersekolah di sekolah swasta. Untuk itu, tentu saja mereka tetap harus keluar biaya mulai uang masuk, seragam, buku hingga biaya tetek-bengek lainnya yang belum tentu berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. bahkan untuk sekolah-sekolah berkualitas atau sekolah terpadu biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Uang masuknya saja rata-rata mencapai jutaan, sementara uang SPP-nya mencapai ratusan ribu rupiah perbulannya.

Untuk sekolah SLTA belum ada sekolah gratis secara nasional, termasuk sekolah negeri. Artinya, seluruh masyarakat harus menanggung banyak biaya demi kelangsungan sekolah anak-anak mereka di SLTA, negeri atau swasta. Ambil contoh salah satu SLTA negeri di Bogor yang mematok uang masuk sebesar 5 juta rupiah. Untuk sekolah yang bertaraf internasional uang masuknya saja bisa mencapai 10 juta rupiah.

Lalu untuk tingkat pendidikan tinggi, PTN telah “diswastanisasi” melalui UU BHP. Memang, Pemerintah masih mengucurkan dana ke PTN. Namun, sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi harus ditanggung oleh PTN itu sendiri. PTN selanjutnya membebankan biaya itu kepada para mahasiswa. Dari sinilah kita akhirnya mendengar biaya masuk PTN yang dari hari ke hari makin mahal, mencapai puluhan juta rupiah, bahkan untuk masuk fakultas kedokteran mencapai lebih dari 100 juta rupiah. Uang SPP-nya pun tidak ada lagi yang bisa dikatakan “murah”. Rata-rata SPP Perguruan Tinggi Negeri mencapai jutaan rupiah, bahkan ada yang mencapai 25 juta rupiah persemester.
Akibat Negara yang Makin Kapitalistik

Penyelenggaraan pendidikan hanya sebagian dari pengaturan berbagai urusan masyarakat. Corak pengaturan urusan-urusan masyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang diadopsi negara. Mahalnya biaya sekolah adalah dampak logis dari diadopsinya ideologi Kapitalisme oleh negara ini. Ideologi Kapitalisme nyata-nyata ‘mengharamkan’ peran negara yang terlalu jauh dalam menangani urusan-urusan masyarakat. Dalam Kapitalisme, peran negara/pemerintah harus diminimalkan. Dalam sistem Kapitalisme, negara/pemerintah memang dibuat tidak mampu membiayai penyelenggaraan urusan masyarakat. Pasalnya, Kapitalisme menetapkan sumber-sumber kakayaan tidak boleh dikelola negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta. Bahkan jika negara sudah terlanjur memiliki BUMN yang mengelola sumberdaya alam, misalnya, maka BUMN itu harus diprivatisasi (dijual kepada swasta). Dengan begitu negara tidak memiliki sumber pandapatan dari sumber-sumber kekayaan alam yang bisa membuat negara mampu membiayai berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan.

Ideologi Kapitalisme juga mengharuskan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada swasta. Semua sektor harus dibuka untuk swasta dan harus dibuka untuk dijadikan sebagai lahan bisnis, termasuk pendidikan. Negara menurut ideologi Kapitalisme tidak boleh menangani langsung urusan masyarakat. Semuanya harus dibuka untuk swasta. Karena itu, munculnya undang-undang yang mem-“privatisasi” lembaga sekolah hanyalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang dianut negeri ini.

Akibatnya, biaya sekolah terus meroket. Sekolah tiba-tiba menjadi barang mewah bagi kebanyakan anggota masyarakat. Kalaupun ada sekolah gratis, itu hanya sampai tingkat SMP, dan hanya berlaku bagi sekolah negeri. Selebihnya, sekolah tingkat lanjut hanyalah untuk mereka yang mampu menanggung biayanya, tidak untuk orang-orang miskin.

Mungkin orang akan berkata bahwa adanya sekolah gratis sudah merupakan hal yang bagus. Sebab, baru segitulah kemampuan maksimal negara/pemerintah untuk memberikan sekolah gratis. Pasalnya, negara/pemerintah tidak memiliki sumberdana yang cukup untuk membiayai lebih dari itu.

Privatitasi (penjualan BUMN kepada pihak swasta) yang diamanahkan oleh undang-undang terus memperkecil sumber pendapatan negara. Akibatnya, untuk membiayai semua urusannya, negara harus membebani rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang terus meningkat. Jika terjadi masalah, kelangsungan sekolah gratis itu bisa terancam, negara kemudian menurunkan anggaran pendidikan. Seperti sekarang, diberitakan Pemerintah akan menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010 dari 207,41 triliun pada tahun 2009 (21%) menjadi 195,63 triliun atau 20,6% dari APBN (Kompas, 27/04/09).

Keinginan masyarakat untuk menikmati sekolah berkualitas dengan biaya murah dalam pemerintahan kapitalis jelas bertentangan dengan ideologi Kapitalisme yang diadopsi. Jika masyarakat tetap menghendaki itu, yaitu negara menanggung biaya pendidikan, maka masyarakat pun harus siap menanggung beban berat. Sebab, biaya untuk itu harus ditanggung rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang tinggi. Sekali lagi, semua itu adalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang diadopsi negeri ini.

Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan sekolah apa adanya, dan membuang mimpi untuk menikmati pendidikan tinggi. Itu artinya, mereka harus membuang mimpi memperbaiki nasib keluarga. Jika dulu sekolah bisa dikatakan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib, maka dengan mahalnya biaya sekolah, peluang perbaikan nasib itu seakan ditutup untuk mereka yang kurang mampu. Jadilah mereka yang kurang mampu terjebak terus-menerus secara turun-temurun dalam lingkaran keterpurukan.

Pendidikan tinggi akhirnya menjadi “hak khusus” kalangan kaya. Jika akhirnya sistem yang ada terkesan lebih berpihak kepada kalangan kaya, maka memang seperti itulah tabiat dari sistem Kapitalisme. Ideologi Kapitalisme memang didesain untuk selalu berpihak kepada orang-orang kaya, terutama para pemilik modal, dengan mengorbankan rakyat kebanyakan.
Islam Menjamin Pendidikan Bagi Semua

Bertolakbelakang dengan ideologi Kapitalisme yang meminimalkan peran negara, ideologi Islam justru menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan urusan-urusan masyarakat. Rasulullah saw. menegaskan:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertangunggjawaban atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin (kepala Negara) adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Di antara pengurusan rakyat adalah pendidikan. Jadi, dalam Islam negara berkewajiban memelihara urusan pendidikan rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan pendidikan kepada swasta. Negara justru harus bertanggung jawab penuh atas masalah pendidikan rakyatnya.

Lebih dari itu, Islam menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat secara umum yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam. Prinsip dasar ini jelas bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini.

Berdasarkan pinsip ini, jika negara lalai atau abai terhadap masalah pendidikan rakyat maka kelalaian itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, dan tentu saja penguasa berdosa karenanya. Prinsip inilah yang menjadikan para pemimpin dalam Islam selalu fokus terhadap pendidikan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini.

Rasul saw. langsung mendidik masyarakat. Beliau juga mengangkat orang-orang yang bertugas memberikan pengajaran kepada masyarakat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Hisyam di dalam Sîrah Ibn Hisyâm, Rasul juga pernah menjadikan tebusan bagi tawanan Perang Badar dalam bentuk mengajari anak-anak kaum Anshar membaca dan menulis. Untuk semua itu masyarakat tidak dipungut biaya sepeser pun. Prinsip itu pula yang mendorong para khalifah setelah beliau membangun berbagai fasilitas pendidikan secara cuma-cuma untuk rakyat. Penyelenggaraan pendidikan berkualitas disediakan untuk rakyat yang menginginkannya tanpa dipungut biaya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’tashim billah, Khalifah al-Mustanshir, Sultan Nuruddin dan para penguasa Islam lainnya sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Wajar jika sepanjang kekuasaan Kekhilafahn Islam, lahir banyak ulama, cendekiawan dan ahli di berbagai bidang. Mereka melahirkan temuan-temuan spektakuler yang mendahului ilmuwan-ilmuwan Barat puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu.

Sistem Islam memungkinkan mengulang semua itu. Pasalnya, Islam bukan hanya menetapkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga menetapkan sistem kepemilikan yang menetapkan barang-barang tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan ketentuan itu, negara akan selalu memiliki dana yang cukup untuk membiayai pelayanan pendidikan gratis untuk rakyat secara mamadai.
Wahai Kaum Muslim:

Mahalnya biaya sekolah adalah akibat logis dari pemeritahan kapitalis yang menerapkan ideologi Kapitalisme di negeri ini. Selama ideologi Kapitalisme diadopsi dan diterapkan di negeri ini, biaya sekolah mahal akan terus menjadi masalah.

Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa negara wajib memelihara urusan rakyat, termasuk pendidikan. Bahkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali secara gratis. Untuk itu, Islam juga menetapkan sistem ekonomi yang akan menjamin negara bisa selalu membiayai penyediaan pendidikan gratis itu.

Karenanya, untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas, ideologi dan sistem Kapitalisme harus segera dicampakkan, kemudian diganti dengan ideologi dan sistem Islam. Intinya, syariah Islam harus segara ditegakkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, dalam institusi Khilafah. Hanya dengan itulah kita akan mendapatkan kehidupan yang di dalamnya Allah menurunkan berkah dari langit dan bumi. Allah swt berfirman:

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallâhu a’lam. []

Komentar:

Proyek Bank Dunia Hancurkan Hutan (Republika, 28/4/2009)

Bank Dunia, IMF, PBB dll hanyalah alat kapitalis; tak layak dipercaya.

Baca Selengkapnya......