BISMILLAH

BISMILLAH
" Awali setiap aktivitas dengan kalimat ini "

09 Mei 2009

Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Pendahuluan
Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol Islam.
Koalisi sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja, koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu (26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr. Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan dengan kritis,”PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis Yahudi. Bagaimana bisa?” (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).
Maka dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hukum syara’ tentang koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler.
Pengertian dan Fakta Koalisi
Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).
Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).
Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).
Adapun koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.
Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi - PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi - PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Koalisi pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Partai Asy-Sya’ab, yaitu partai buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).
Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.
Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler
Dengan meneliti fakta (manath) koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.
Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).
Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.
Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).
Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :
Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.
Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :
Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم

“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).
Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.
Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(QS Huud [11] : 113)
Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة…


“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.
Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).
Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syaraiah Islam yang menyeluruh.
Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (’ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).
Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا


“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).
Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).
Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.
Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).
Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).
Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :


أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ


“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).
Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.
Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :

الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ

“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)
Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.
Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh eksekutif (Presiden dan para menteri) maupun oleh legislatif (parlemen). Wallahu a’lam. [ ]

**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Al-Ja’bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam,
Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da’wah ila Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah)
Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur`an dan Sunnah (Min Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)
Al-Syarif, Muhammad Syakir, 1411 H, Haqiqah Al-Dimuqrathiyyah, (Tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)
———-, 1428 H, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah : ‘Ardh wa Naqd, (Riyadh : tanpa penerbit).
Anonim, 2004, Era Koalisi, mhttp://nurdpcpkssapeken.blogspot.com/2009/01/era-koalisi.html
Echols, John M. & Hassan Shadily, 1983, Cetakan XII, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Hilal, Iyad, 2002, Perjanjian-Perjanjian Internasional dalam Pandangan Islam (Al-Mu’ahadat al-Dauliyah fi al-Syariah al-Islamiyah), Penerjemah Mahbubah, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah).
Jurdi, Fajlurahman, 2009, Aib Politik Islam : Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan, (Yogyakarta : Antonylib).
Kiswanto, Heri, 2008, Gagalnya Peran Politik Kyai Dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional, (Yogyakarta : Nawesea Press).
Mashad, Dhurorudin, 2008, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar).
Mufti, Muhammad Ahmad, 2002, Naqdh Al-Judzur Al-Fikriyah li Al-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, (Tanpa tempat penerbit : Maktabah Al-Malik Fahad).
Murdiati, Dini, 1999, Faktor Determinan Koalisi Partai Politik, http://kampusciamis.com/content/view/71/1/
Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indinesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka).
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (A History of Modern Indonesia Sinve 1200), (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta).
Sabili, “KPU Makin Tidak Cerdas”, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009
Thabib, Hamd Fahmi, Al-Mu’ahadat fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.p : Baitul Maqdis), 2002
Zallum, Abdul Qadim, 1990, Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, (Tanpa tempat penerbit : Hizbut Tahrir).

Baca Selengkapnya......

04 Mei 2009

IMUNISASI HALAL

Vaksin Masih Perlukah?
Pengamat Kesehatan:
Ummu Salamah
Nabawi Medical Center

Sehubungan dengan adanya penyakit-penyakit yang berkembang saat ini dan telah beredarnya pemahaman metode kedokteran yang disebarluaskan oleh metode kedokteran barat, maka sebagai umat muslim sangat prihatin sekali dengan kondisi ini.
Metode kesehatan ala modern dengan teori trial and error mengatakan bahwa, penyakit itu bisa disembuhkan bila disuntikkan virus dan bakteri yang bersumber dari penyakit, agar manusia kebal. Sehingga manusia dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah, tetapi tidak terkena penyakitnya.
Contohnya, agar anak-anak tidak terkena penyakit kelamin/HIV atau penyakit kelamin lainnya ketika mereka melakukan sex bebas, maka disuntikkan vaksin HIV pada usia anak-anak. Itulah yang dikutip dari buku “What your doctor may not tell you about children’s vaccination”, oleh Stephanie Cave & Deborah Mitchell, keduanya dokter dari Amerika.
Sentra pengendalian penyakit di AS, pada februari 1997 (ACIP) dari CDL, berkumpul untuk membuat kebijakan vaksin bagi AS. Neal Haley MD, ketua komite penyakit menular dari Akademi AS untuk dokter spesial anak, mengajukan topik vaksin HIV. Ia mengatakan “kami sungguh-sungguh melihat bahwa usia 11 s/d 12 tahun sebagai usia target vaksin guna pencegahan penyakit seksual”. Jadi orang tua dari para bayi, balita atau anak kecil akan segera menghadapi kemungkinan mendapat vaksin HIV untuk anak-anak. Vaksin ini dimaksudkan untuk mencegah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti khlamidia, herpessimpleks, neisseria gonorhea, HIV/AIDS dll.
Jadi pemikiran mereka, jika tubuh manusia disuntikkan virus yang dilemahkan, maka tubuh akan melakukan anti body terhadap virus tadi. Virus yang disuntikkan ke tubuh itu adalah virus yang diambil dari cairan darah orang yang terkena penyakit AIDS/HIV, Hepatitis B, Herpes, dll, yang melakukan sex bebas, peminum alkohol, narkotika dan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah. Lalu dibiakkan di media-media seperti ginjal kera, lambung babi, ginjal anjing, sapi anthrax, menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan, ditambahkan merkuri/timerosal/air raksa atau logam berat sebagai bahan pengawetnya. Vaksin-vaksin yang dihasilkan antara lain adalah vaksin polio, MNR, rabies, cacar air dll.
Celakanya bayi-bayi tak berdosa yang tidak melakukan kerusakan, pelanggaran terhadap hukum Allah, sengaja diberikan virus-virus itu, dengan pemikiran agar anak-anak itu kebal. Sehingga ketika melanggar hukum allah, dimungkinkan tidak terkena azab-Nya. Celakanya pula, ini diberikan kepada anak-anak muslim.
Sebenarnya vaksin-vaksin ini juga telah banyak memakan korban anak-anak Amerika sendiri, sehingga banyak terjadi penyakit kelainan syaraf, anak-anak cacat, autis, dll. Tetapi penjualan vaksin tetap dilakukan walau menimba protes dari rakyat Amerika. Hanya saja satu alasan yang negara Amerika pertahankan, yaitu bahwa vaksin adalah bisnis besar.
Sebuah badan peneliti teknologi tinggi internasional yaitu Frost & Sullivan, memperkirakan bahwa pangsa pasar vaksin manusia dunia akan menguat dari 2,9 miliar USD tahun 1995, melonjak menjadi lebih dari 7 miliar USD tahun 2001. Ini diambil dari ideologi kapitalis yang mereka emban, hingga membunuh bayi, anak-anak atau manusia lain, mereka lakukan demi uang dan kekuasaan.
Ketika anak-anak terimunisasi, mulailah jerat obat-obatan produk AS membanjiri negeri-negeri muslim yang tunduk pada AS dan membiarkan rakyatnya sendiri teracuni akibat pemikiran kapitalis AS. Obat-obat beracun yang mahal harganya ini praktis menguras keuangan orang-orang muslim, teracuni obat-obat kimia sintetis termasuk benda-benda haram, agar doa-doa orang miskin tertolak oleh Allah SWT. Ini semua akibat kebodohan orang-orang muslim, yang tidak percaya kepada metode kesehatan menurut Rasulullah SAW, yaitu Thibbun Nabawy.
Dalam hal obat-obatannya, pengobatan Thibbun Nabawy yang murni alami, tidak boleh dicampuradukkan dengan pengobatan yang menggunakan bahan kimia sintetis (QS. 2 : 42). Tetapi dalam hal teknologi misalnya alat-alat radiologi, stetoskop, bladpressure (alat pengecekan tekanan darah) dll, boleh saja kita gunakan. Jadi Indonesia membutuhkan rumah sakit dengan peralatan canggih, tetapi obat-obatan menggunakan yang alami dan bukan dari barang/benda haram.
Jemaah haji Indonesi juga diwajibkan divaksin dengan vaksin miningitis. Dimana keharusan ini adalah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, yang berada dibawah naungan WHO dan PBB. Menurut informasi yang di dapatkan dari Departemen Kesehatan RI bahwa vaksin miningitis ini adalah salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah haji. Jadi setiap calon jemaah haji akan mendapatkan sertifikat telah tervaksin/terimunisasi. Kalau tidak maka tidak diberangkatkan. Apakah ini tidak berlebihan?
Apakah vaksin miningitis? Vaksin ini diberikan dengan maksud (menurut mereka) untuk melindungi jemaah haji indonesia dari penyakit meninglokal, yang disebabkan oleh organisme Neisseria meningitis yang menyebabkan infeksi pada selaput otak dan meningokomeia atau infeksi darah atau keracunan darah, yang penyebarannya melalui bersin batuk dan bicara.
Vaksin yang disuntikan ke tubuh calon jemaah haji ini adalah bakteri meningokokus yang awalnya diambil dari cairan darah orang amerika yang terkena meningitis. Bakteri ini timbul karena pola kebiasan meminum alkohol dan perokok aktif dan kehidupan malam yang serba bebas.
Vaksin ini tidak juga memberikan perlindungan utuh. Vaksin ini hanya mengurangi resiko penyakit meningokal yang disebabkan oleh Serogroup A, C, Y dan W 135. Sehingga 30% perkiraan kasus penyakit tetap terkena pada seluruh kelompok usia. Vaksin efektif hanya untuk 3 s/d 5 tahun. Vaksin ini mengandung timerosal/air raksa sebagai bahan pengawet serta merupakan salah satu bahan pencetus kanker (karsinogen) dan kelainan-kelainan syarat, sehingga berdampak buruk pada sel-sel otak dan organ-organ tubuh jemaah haji. Beberapa jamaah haji Indonesia mengalami gejala-gejala seperti biru-biru di seluruh tubuh, jantung berdebar-debar, nyawa seperti melayang, rasa ketakutan, pusing, mual, setelah divaksin.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah vaksinasi merupakan rukun haji? Kini vaksin tersebut dapat menyebabkan seseorang batal berangkat haji. Kedudukannya sudah melebihi rukun dan wajib haji. Ada apa sebenarnya di balik itu semua?
Kehalalan Vaksin
Vaksinasi adalah aktifitas yang tidak asing lagi pada kalangan ibu-ibu yang memiliki bayi atau balita. Kegiatan ini sesungguhnya adalah memberikan suatu zat tertentu pada tubuh si anak baik secara oral atau pun injeksi. Tujuan dari vaksinasi adalah pembentukan kekebalan tubuh si anak bayi/balita sesuai dengan vaksin yang disuplai.
Tapi apakah selama ini kita mengetahui dari bahan apa dan bagaimana cara vaksin untuk bayi atau pun balita kita dibuat? Kita mungkin lebih sering mempertimbangkan apa reaksi yang harus dipantau dari penggunaan vaksin tersebut pada bayi atau balita kita. Tetapi sangat sedikit bahkan mungkin luput dari pantauan kita dari apa vaksin-vaksin tersebut dihasilkan.
Jurnal halal edisi kali ini memaparkan beberapa informasi seputar vaksin yang digunakan di masyarakat kita, pemaparan ingredien vaksin yang umumnya digunakan ditinjau dari segi kehalalanya.
Apa itu vaksin dan vaksinasi
Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus. Terbuat dari virus yag telah dimatikan atau "dilemahkan" dengan menggunakan bahan-bahan tambahan lainnya seperti formalaldehid, thymerosal dan lainnya. Sedangkan vaksinasi adalah suatu usaha memberikan vaksin tertentu kedalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit /virus tersebut.
Jenis-jenis vaksinasi
Jenis-jenis vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio, Rubella, BCG, DPT, Measles –Mumps-Rubella (MMR) cacar air dan jenis penyakit lainnya seperti influenza. Di Indonesia sendiri praktek vaksinasi yang hampir selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak dilakukan lagi di Indonesia.
Vaksin dan sistem kekebalan tubuh
Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit. Berdasarkan teori antibody, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibody terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut.
Dr. J. Anthony Morris, former Chief Vaccine Control Officer and research virologist, US FDA mengatakan bahwa ada banyak hal yang membuktikan bahwa imunisasi pada anak lebih banyak dampak buruknya daripada manfaatnya.
Dr. Willian Howard dari USA mengatakan bahwa tubuh telah memiliki metodenya sendiri untuk pertahanan, yang tergantung pada vitalitas tubuh pada saat tertentu. Jika vitalitas tubuh cukup, maka tubuh akan bertahan terhadap seluruh infeksi, tetapi sebaliknya jika tidak maka pertahanan akan lemah.
Sesungguhnya kita tidak dapat mengubah vitalitas tubuh menjadi lebih baik justru dengan menggunakan berbagai jenis racun (vaksin) kedalam tubuh tersebut.
Vaksin dan Tinjauan Kehalalannya
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang diselenggarakan di Indonesia pada Agustus tahun lalu, sempat bermasalah dibeberapa wilayah di Indonesia.Permasalahannya beberapa daerah tersebut (Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Banten) menolak pemberian vaksin polio karena diragukan kehalalannya. Yaitu dalam proses pembuatan vaksin tersebut menggunakan ginjal kera sebagai media perkembangbiakan virus, demikian penjelasan dari Utang Ranuwijaya anggota Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI. Alhasil keputusan MUI No.16 tahun 2005 mengeluarkan fatwa kehalalan atas vaksin polio tersebut.
Memang kalau kita mau telaah lebih lanjut, masih banyak sekali jenis-jenis vaksin yang bersumber dari bahan-bahan yang diharamkan. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda dan ekstraks mentah lambung babi.
Selain sumber-sumber diatas, beberapa vaksin juga dapat diperoleh dari aborsi calon bayi manusia yang sengaja dilakukan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5 dan WI-38.Vaksin yang mengandung MRC-5 dan WI-38 adalah beberapa vaksin yang mengandung cell line diploid manusia.

Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan kepada publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus dan hati yang diperoleh dari aborsi yang terpisah. Penamaan isolat biasanya dikaitkan dengan sumber yang diperolah misalnya WI-38 adalah isolat yang diperoleh dari paru-paru bayi perempuan berumur 3 bulan.
Ada suatu kaidah usul Fiqh yang mengatakan bahwa mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaatnya. Demikian alasan yang dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan terhadap kehalalan vaksin polio sekalipun diketahui bahwa vaksin tersebut disediakan dari bahan yang tidak diperkenankan dalam Islam.
Namun demikian kita tidak bisa hanya bertahan pada kondisi darurat, melainkan juga melakukan usaha untuk perbaikan. Seperti misalnya usaha yang akan dilakukan oleh PT. Bio Farma yang dalam 3 tahun mendatang akan memproduksi vaksin polio halal. Masih banyak lagi area bagi masyrakat muslim yang kompeten dalam bidang tersebut, untuk melakukan perbaikan. Sehingga Indonesia, yang jumlah balitanya cukup banyak (data tahun 2005: 24 juta balita Indonesia), dimana hampir 90 % nya adalah muslim merasa aman dan tentram untuk melakukan vaksinasi-imunisasi. Siapa dari kita yang akan menangkap peluang ini? Wallahualam bisshawab.
KONSEP IMUNISASI HALAL HALALAN THAYYIBAN
1. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
2. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
3. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
4. Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung Toksin / Racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman kesehatan manusia:
a. Kimiawi Sintetis
b. Logam Berat (Heavy Metal)
c. Hasil Metaboit parsial
d. Toksin Bakteri
e. Komponen dinding sel
5. Tidak memberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang haram secara syari’at:
a. Alkohol dan turunannya, yang bersifat seperti alkohol, yaitu yang apabila dikonsumsi secara banyak akan memabukkan.
b. Tidak mengandung Darah, daging Babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebutkan nama Allah.
c. Tidak daging yang diharamkan menurut syari’at, contoh: Binatang Buas, Bertaring, bangkai dll.
d. Tidak dikembangbiakkan di dalam darah hewan apapun, daging babi, dan di dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syari’at.
6. Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat membangun sistem kekebalan tubuh manusia.
7. Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menururnkan sistem kekebalan tubuh manusia. (Diambil dari www.imunisasihalal.com)

Baca Selengkapnya......