BISMILLAH

BISMILLAH
" Awali setiap aktivitas dengan kalimat ini "

03 Maret 2010

BERSATU TOLAK OBAMA (2)

Sebagai seorang muslim maka selayaknya dalam setiap sikapnya senantiasa terikat dengan Hukum Syara' ( At Taqoyyidu bi al hukmi asy syar'i ), nah dalam Dirasah Syar'iyah kali ini akan dipaparkan sebuah kajian yang berkaitan degan moment rencana kedatangan Obama yang dan dengan kajian tersebut diharapkan kita bisa menyikapi rencana kedatangan Obama tersebut dengan sikap yang proporsional di hadapan Syara' bukan logika, maslahat/manfaat atau yang lain.


" HARAM MEMBERIKAN IZIN (al-aman) dan MENERIMA KEDATANGAN OBAMA.."
Dirasah Syar’iyah: Hukum Islam Menerima Penguasa Negara Penjajah

Kategori Kaum Kafir:
· Ahl al-harb (Kafir Harbi): Orang Kafir yang memerangi/terlibat peperangan dengan kaum Muslimin.
· Ahl al-Ahd (Kafir Ahdi): Orang Kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin. Mereka terdiri dari Ahl ad-Dzimmah (Dzimmi), Ahl al-Hudnah (Mu’ahad) dan Ahl al-Aman (Musta’min).
(Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah)
أهل الذمة:
وهؤلاء لهم ذمة مؤبدة، وهؤلاء قد عاهدوا المسلمين على أن يجري عليهم حكم الله ورسوله: إذ هم مقيمون في الدار التي يجري فيها حكم الله ورسوله
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai jaminan tetap. Karena mereka telah mengadakan perjanjian dengan kaum Muslim dengan syarat: hukum Allah dan Rasul-Nya diberlakukan kepada mereka. Itu karena mereka tinggal di wilayah yang menerapkan hukum Allah dan Rasul-Nya.
أهل الهدنة (المعاهد):
بخلاف أهل الهدنة فإنهم صالحوا المسلمين على أن يكونوا في دارهم، سواء كان الصلح على مال أو غير مال: لا تجرى عليهم أحكام الإسلام كما تجري على أهل الذمة، لكن عليهم الكف عن محاربة المسلمين.
Berbeda dengan Ahl al-Hudnah. Karena mereka mengadakan perjanjian dengan kaum Muslim dengan syarat, mereka tetap tinggal di negeri mereka, baik dengan membayar harta atau tidak. Mereka juga tidak diberlakukan hukum Islam, seperti Ahli ad-Dzimmah, tapi mereka tidak akan memerangi kaum Muslim.
أهل الأمان (المستأمن):
وهؤلاء يسمون أهل العهد وأهل الصلح وأهل الهدنة.
وأما المستأمن فهو الذي يقدم بلاد المسلمين من غير استيطان لها؛ وهؤلاء أربعة أقسام: رسل؛ وتجار؛ ومستجيرون حتى يعرض عليهم الإسلام والقرآن، فإن شاؤوا دخلوا فيه وإن شاؤوا رجعوا إلى بلادهم؛ وطالبوا حاجة من زيارة أو غيرها وحكم هؤلاء ألا يهاجروا، ولا يقتلوا، ولا تؤخذ منهم الجزية، وأن يعرض على المستجير منهم الإسلام والقرآن: فإن دخل فيه فذاك، وإن أحب اللحاق بمأمنه ألحق به، ولم يعرض له قبل وصوله إليه. فإذا وصل مأمنه عاد حربياً كما كان.(ابن القيم الجوزية، أحكام أهل الذمة، ج ۲/۸۷۳)
Mereka itulah yang disebut Ahl al-Ahd, Ahl as-Shulh dan Ahl ad-Dzimmah.
Adapun Musta’min adalah orang Kafir yang datang ke negeri kaum Muslim bukan untuk menetap di sana. Mereka bisa dipilah menjadi empat: Duta, pedagang, orang yang meminta perlindungan hingga bisa mendengarkan Islam dan al-Qur’an; jika mau, mereka bisa masuk Islam, dan jika tidak, mereka bisa pulang ke negeri mereka, juga orang yang mencari kebutuhan dengan berkunjung maupun yang lain. Hukum bagi mereka adalah, mereka tidak boleh diusir, dibunuh dan diambil jizyah. Kepada orang yang mencari perlindungan tersebut boleh disampaikan Islam dan al-Qur’an; jika dia masuk Islam, maka itu haknya, namun jika dia lebih suka kembali ke tempat asalnya, maka bisa dikembalikan ke sana. Dia tidak boleh diapa-apakan sebelum sampai ke sana. Jika dia sudah sampai di tempat asalnya, maka kembali lagi menjadi Kafir Harbi (musuh), seperti sedia kala.

Antara Ibn al-Qayyim dan Imam Syafi’i:
· Hukum yang berlaku untuk Kafir Musta’min di atas, bagi Ibn al-Qayyim, dikecualikan dari hukum umum yang berlaku untuk Ahl al-Harb. Karena Musta’min adalah orang Kafir yang mendapatkan al-aman/visa, dan mereka dianggap sebagai bagian dari Ahl al-Ahdi, bukan Ahl al-Harb.
· Ini sama dengan pendapat Imam as-Syafi’i:
وكذلك أهل الحرب يُمنعون الإتْيَانَ إلى بلاد المسلمين بتجارة بكل حال

Begitu juga Ahl al-Harb, mereka dilarang datang ke negeri kaum Muslim untuk berdagang, apapun alasannya.
ولا يترك أهل الحرب يدخلون بلاد المسلمين تجّاراً، فإن دخلوا بغير أمان ولا رسالة غُنِمُوا، وإن دخلوا بأمان وشرط أن يأخذ منهم، عشراً أو أكثر أو أقل أخذ منهم فإن دخلوا بلا أمان ولا شرط ردوا إلى مَأْمَنِهِمْ، ولم يتركوا يمضون في بلاد الإسلام

Ahl al-Harb tidak boleh dibiarkan masuk negeri kaum Muslim sebagai pedagang. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan (al-aman) dan risalah (sebagai duta), maka mereka bisa dirampas (hartanya). Jika mereka masuk dengan al-aman, dengan syarat membayar 1/10 lebih atau kurang dari harta mereka, maka boleh diambil. Jika masuk tanpa al-aman dan syarat, mereka harus dikembalikan ke negeri mereka. Dan tidak boleh dibiarkan melenggang di negeri kaum Muslim. (as-Syafi’i, al-Umm, juz IV, hal. 244)

Alasan Diberikannya Jaminan al-Aman:
· Sebagai utusan/duta/konsul untuk menyampaikan risalah kepada kepala negara Islam;
· Bisnis atau berdagang;
· Mencari kebutuhan, seperti kunjungan sanak kerabat, dll..
· Mempelajari Islam dan al-Qur’an
(Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, juz II, hal. 873)


Diberikan dengan Syarat:
· Para fuqaha’ mensyaratkan, bahwa al-Aman tersebut bisa diberikan dengan syarat, tidak menimbulkan mudarat (bagi kepentingan Islam dan kaum Muslim).
فيلزم الإمام وغيره الوفاء به إذا لم تكن فيه مضرة.. (قوانين الأحكام الشرعية/۱۷۳)
Imam dan yang lainnya harus terikat untuk menunaikan jaminan (al-aman) tersebut, jika tidak menyebabkan mudarat.. (Qawanin al-Ahkam as-Syar’iyyah, hal. 173)
· Meski individu/rakyat boleh memberikan jaminan al-aman, tetapi jaminan tersebut tetap harus diatur oleh negara, agar tidak bertabrakan dengan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
· Jika ternyata ada mudharat, maka negara (Khalifah) berhak membatalkan jaminan al-aman, dan mengembalikan penerimanya sebagai Ahl al-Harb.
(Disarikan dari: Imam as-Sarakhsi, Syarah as-Siyar al-Kabir, juz II, hal. 580)
Hubungan Dengan Negara Kafir Penjajah (Daulah Muharibah Fi’lan)
· Jumhur fuqaha’ menyatakan, hukum asal hubungan Negara Islam dengan Negara Kafir –baik fi’lan maupun hukman– adalah hubungan perang.
· Hubungan damai antara Negara Islam dengan Negara Kafir bisa terjadi karena: perdamaian, Negara Kafir menjadi Islam, atau tunduk kepada Negara Islam.
(Ibn Qudamah, al-Mughni, juz X, hal. 387)


AS dan Obama
· AS, termasuk Inggeris, dll. adalah negara Kafir Harbi Fi’lan, karena secara nyata memerangi negeri kaum Muslim, seperti Irak dan Afganistan, untuk dijajah.
· Negeri kaum Muslim adalah satu, dengan begitu hukum asal hubungan dengan AS, Inggeris, dll itu adalah hubungan perang, bukan hubungan damai.
· Konsekuensinya, tidak boleh ada hubungan diplomatik dengan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan itu. Termasuk, tidak boleh ada konsul, duta dan perwakilan mereka di negeri kaum Muslim.
· Satu-satunya alasan Obama bisa diterima, jika datang untuk berdamai guna menghentikan perang, atau belajar Islam. Lalu, siapa yang mewakili umat Islam? Tidak ada.
· Mengizinkan Obama datang ke Indonesia bukan saja mendatangkan mudarat bagi Islam dan kaum Muslim, tetapi juga bagi Indonesia. Lebih dari itu, ini juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap negeri-negeri kaum Muslim yang dijajah oleh AS, dkk.
· Maka, HARAM MEMBERIKAN IZIN (al-aman) dan MENERIMA KEDATANGAN OBAMA..
Wassalam

Baca Selengkapnya......

BERSATU TOLAK OBAMA (1)

Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Menolak kehadiran Presiden AS Barrack Husein Obama ke Indonesia karena dengan semua tindakan brutal di sejumlah negeri muslim.
2. Kunjungan Presiden AS Obama ke Indonesia tidak lain adalah untuk mengokohkan kepentingan politik dan ekonomi AS di negeri ini.
3. Riwayat hidup Presiden Obama yang masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta, juga ada di antara nenek moyangnya yang beragama Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengistimewakan dirinya.
4. Menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk sungguh-sungguh berjuang mewujudkan kehidupan Islami dimana di dalamnya diterapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah.

Pernyataan Hizbut Tahrir Indonesia: “Tolak Obama, (Presiden Negara Penjajah)”
Nomer: 177/PU/E/02/10
Jakarta, 26 Februari 2010/12 Rabiul Awwal 1431 H

Seperti telah diberitakan, Presiden AS Barack Obama pada 20 – 22 Maret mendatang akan berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan itu, disamping akan melakukan pembicaraan resmi dengan Presiden SBY menyangkut peningkatan hubungan AS dan Indonesia, Obama juga akan melakukan kunjungan nostalgia. Diantaranya ke SD Negeri I Menteng, tempat ia semasa kecil dulu bersekolah.
Berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan bahwa sesungguhnya Obama adalah presiden dari sebuah negara yang saat ini jelas-jelas tengah menjajah negeri Muslim, seperti Irak dan Afghanistan. AS juga terus menyerang wilayah perbatasan Pakistan dan Afghanistan. Akibatnya, negara-negara itu kini hancur berantakan. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara sosial, politik, ekonomi dan budaya. Tak terhitung besarnya kerugian yang ditimbulkan. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat di sana meninggal karenanya. Menurut penelitian John Hopkins University, akibat invasi AS ke Irak sejak tahun 2003 lebih dari 1 juta warga sipil Irak tewas. Memang dulu ketika AS menginvasi Irak dan Afghanistan, AS dipimpin oleh Presiden Bush. Tapi Obama tidak mengubah kebijakan biadab itu. Rencana untuk menarik pasukan AS dari Irak hingga sekarang belum diwujudkan. Ia bahkan sudah memutuskan menambah 30 ribu pasukan ke Afghanistan. Itu artinya tingkat kerusakan dan penderitaan rakyat di sana, termasuk yang kemungkinan bakal tewas, akan meningkat.
Sosok presiden seperti itulah yang rencananya akan berkunjung ke Indonsia. Sebuah sosok yang kejam, yang tidak beda dengan Bush, yang tangannya berlumuran darah dan yang tidak memiliki rasa belas kasih sedikitpun.Obama hingga sekarang juga tidak sedikitpun mengungkapkan rasa simpati terhadap para korban tragedi Gaza setahun lalu. Jangankan simpati terhadap korban atau kutukan terhadap pelaku, menyinggung peristiwa itu saja tidak pernah ia lakukan. Dalam pidato inaugurasi atau pelantikannya sebagai Presiden, tak sedikitpun ia menyinggung soal Gaza. Padahal itu peristiwa besar dengan korban lebih dari 1.300 orang tewas, yang telah menarik perhatian masyarakat dunia. Tapi bagi Obama, tragedi Gaza itu seolah tidak pernah ada.
Obama memang tamu. Tapi tamu itu ada dua macam. Tamu yang baik dan tamu yang bermasalah. Obama adalah jenis tamu yang kedua, karena dia hingga sekarang terus menghancurkan negeri-negeri Muslim dan membunuhi rakyat di sana.
Tambahan lagi, Indonesia dalam pembukaan UUD 45 telah menegaskan penentangannya terhadap segala bentuk penjajahan, dan oleh sebab itu penjajahan itu harus dihentikan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Bila konsisten dengan prinsip ini semestinya Indonesia juga harus menentang penjajahan yang dilakukan oleh AS di Irak dan Afghanistan. Dan bentuk paling ringan dari penentangan itu adalah menolak kehadiran presiden dari negara penjajah itu.
Juga, kedatangan Presiden Obama hanyalah merupakan bagian dari politik belah bambu di dunia Islam. AS berusaha menampilkan citra positif di satu negara muslim seperti Indonesia, untuk menutupi kejahatannya di negeri Islam lainnya (Irak, Afghanistan, Palestina, Pakistan dan lainnya) sehingga AS tetap bisa meraih dukungan dari negeri-negeri muslim atas semua tindakan kejinya yang dilakukan di negeri muslim yang lain.
Maka, berkenaan dengan hal itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Menolak kehadiran Presiden AS Barrack Husein Obama ke Indonesia karena dengan semua tindakan brutal di sejumlah negeri muslim seperti Irak, Afghanistan dan di perbatasan Pakistan – Afghanistan itu, berarti AS telah secara sengaja memusuhi umat Islam. Serangan terhadap satu negeri Islam hakikatnya adalah serangan terhadap seluruh umat Islam. Oleh karena itu, dalam pandangan syariat Islam, AS sekarang ini termasuk kategori muhariban fi’lan atau negara yang dalam status memerangi umat Islam secara de facto. Presiden dari sebuah negara seperti itu tidak layak untuk diterima sebagai tamu.
2. Kunjungan Presiden AS Obama ke Indonesia tidak lain adalah untuk mengokohkan kepentingan politik dan ekonomi AS di negeri ini. Indonesia adalah negara yang sungguh penting buat AS. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Kaya sumberdaya alam, khususnya energi, dan pasar yang sangat potensial untuk produk-produk ekspor AS. Banyak perusahaan AS di bidang migas dan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. Dan dari perusahaan-perusahaan itu, sangat banyak AS menikmati kekayaan negeri ini. Apalagi kini AS tengah bersaing secara ekonomi dengan China. Kunjungan Obama ke Indonesia untuk memastikan bahwa Indonesia tetap dalam orbit pengaruhnya. Secara politik tetap menganut sistem dan ideologi sekuler. Dan secara ekonomi tetap menjadi pasar produknya dan perusahaan-persusahan AS tetap leluasa beroperasi di Indonesia. Artinya, kunjungan Presiden Obama akan semakin mengokohkan penjajahan (tidak langsung) AS atas negeri ini. Memang ada nuansa nostalgia karena Obama semasa kecil pernah sekolah di Jakarta. Tapi itu amat sangat tidak penting. Tidak mungkin presiden dari sebuah negara imperialis sebesar AS datang ke sebuah negara untuk sekadar bernostalgia.
3. Riwayat hidup Presiden Obama yang masa kecilnya pernah tinggal dan bersekolah di Jakarta, juga ada di antara nenek moyangnya yang beragama Islam tidak bisa dijadikan dasar untuk mengistimewakan dirinya. Penilaian atas Obama harus didasarkan pada apa yang dilakukan saat ini selama menjadi Presiden AS. Jangankan sekadar pernah tinggal di Indonesia dan ada nenek moyangnya beragama Islam, seorang warga negara Indonesia yang Muslim sekalipun bila tangannya berlumuran darah, membunuh banyak orang tetap saja harus kita hukum. Ingatlah pada sebuah hadits di mana Rasulullah menyatakan bahwa andai Fatimah anak perempuan Muhammad mencuri niscaya pasti juga akan dipotong tangannya.
4. Menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk sungguh-sungguh berjuang mewujudkan kehidupan Islami dimana di dalamnya diterapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah. Hanya dalam kehidupan seperti itu saja, izzul Islam wal muslimin termasuk perlindungan terhadap negeri-negeri muslim dan harkat, martabat serta kehormatan umat Islam bisa diujudkan. Dalam sistem sekular dengan penguasa tidak amanah seperti sekarang ini, umat Islam dan negeri-negeri muslim akan terus menerus dilecehkan, dihisap dan dihancurkan oleh negara kafir penjajah, dan untuk sekadar menolak kehadirannya pun tidak mampu.
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

Baca Selengkapnya......

12 Juni 2009

Ancaman Bagi Wanita yang Membuka Auratnya

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “



Definisi Aurat

Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”

Batasan Aurat bagi Wanita

Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”

Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].

Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.

Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.

Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala). Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]

Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]

Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ

“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.

Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]

[1] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363. Diskusi masalah ini sangatlah panjang. Menurut Ibnu Hubairah dan Imam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86

Baca Selengkapnya......

05 Juni 2009

INGAT, SETIAP PILIHAN AKAN DITANYA OLEH ALLAH!



[Al-Islam 450] Pemilu 2009 sudah digelar. Kamis, 9 April 2009, rakyat negeri ini yang mayoritas Muslim serentak melakukan pencontrengan tanda partai/gambar caleg yang menjadi pilihannya, meski sebagian mereka ada yang lebih memilih ‘golput’.

Sejak awal Pemilu 2009 ini diduga bakal rumit. Pemilu 2009 diwarnai oleh sejumlah persoalan: anggaran biaya yang besar; proses pembahasan UU Pemilu yang cukup alot, verifikasi parpol calon peserta yang rumit, pengesahan 38 parpol peserta Pemilu yang demikian banyak (melebihi parpol peserta Pemilu pertama tahun 1955), penetapan jumlah ‘suara terbanyak’ oleh MK untuk para caleg yang menuai perdebatan, serta munculnya sejumlah kasus teknis seperti kemungkinan terlambatnya pasokan logistik Pemilu ke sejumlah derah hingga dugaan adanya manipulasi seputar DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Pada hari H pelaksanaan pemungutan suara juga rumit. Bayangkan, pemilih harus membuka kertas suara seukuran halaman satu muka koran yang di dalamnya terdapat daftar 38 parpol dan ratusan nama caleg. Pemilih bisa pusing dibuatnya. Dari sini potensi suara tidak sah menjadi makin besar.

Selain rumit, Pemilu sekarang juga menyimpan potensi ledakan masalah sosial, yaitu ledakan para caleg yang stres atau frustasi karena gagal menjadi anggota legislatif. Bayangkan, di tingkat kabupaten/kota saja, ada 1,5 juta orang bersaing untuk merebut 15.750 kursi DPRD II. Dengan kata lain, dipastikan 1.484.250 orang atau 98,9% caleg DPRD II gagal meraih impiannya. Jika angka itu ditambahkan dengan jumlah para caleg yang gagal duduk di DPRD I dan DPR maka akan ada 1.605.884 caleg di seluruh Indonesia yang berpotensi stres atau frustasi. Pasalnya, mereka sudah mengeluarkan biaya puluhan juta, atau ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk kampanye Pemilu. Padahal, uang sebesar itu, selain dari sumbangan pihak lain, tidak jarang juga merupakan hasil dari ‘menguras’ harta-bendanya, atau bahkan ngutang sana-sini.

Ini tentu berbahaya. Bahayanya adalah jika para caleg yang gagal tidak bisa menerima kegagalan. Lalu karena frustasi, ia tidak bisa menahan diri dan bahkan melibatkan massa pendukung untuk memprotes KPU, MK atau pihak lain. Pintu chaos bisa saja terbuka. Tentu saja, semua ini tidak diharapkan.

Tanggung Jawab di Akhirat

Tidak sebagaimana rumitnya penyelenggaraan Pemilu dalam sistem demokrasi seperti di atas, sikap seorang Muslim yang seharusnya secara syar’i terhadap Pemilu itu sendiri sebetulnya sederhana. Intinya, setiap pilihan ada hisabnya di sisi Allah SWT, termasuk memilih untuk tidak memilih alias ’golput’. Karena itu, sudah selayaknya setiap Muslim merenungkan kembali pilihannya yang telah ia lakukan saat Pemilu. Kesalahan memilih tidak hanya berakibat di dunia, tetapi juga di akhirat. Akibat di dunia adalah terpilihnya orang-orang yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak amanah dan tidak memperjuangkan tegaknya syariah Islam, bahkan semakin mengokohnya sistem sekular yang nyata-nyata bobrok dan bertentangan dengan Islam. Semakin kokohnya sistem sekular tentu akan semakin memperpanjang kemungkaran. Bukankah dalam sistem sekular hukum-hukum Allah selalu disingkirkan? Semakin kokohnya sistem sekular tentu juga akan semakin memperpanjang penderitaan kaum Muslim. Bukankah sistem sekular memang telah mengakibatkan umat ini terus menderita, justru di tengah-tengah kekayaan mereka yang melimpah-ruah? Adapun akibat di akhirat karena kesalahan dalam memilih tentu saja adalah dosa dan azab dari Allah SWT.

Karena itu, dengan dasar keimanannya kepada Allah SWT, seorang Muslim sejatinya tetap menata dan menyelaraskan setiap perbuatannya, termasuk pilihannya, dengan tuntunan yang datang dari Allah SWT melalui Rasulullah saw. Setiap perbuatan dan pilihan manusia harus terikat dengan syariah. Tentu karena setiap perbuatan/pilihan manusia, sekecil apapun, akan dihisab oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

]وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ[

Siapa saja yang mengerjakan perbuatan baik, sekecil apapun, ia akan melihat balasan kebaikannya. Siapa saja yang mengerjakan perbuatan buruk, sekecil apapun, ia akan melihat balasan keburukannya (QS al-ZaIzalah [99]: 8).

Dengan demikian, setiap Muslim wajib mengetahui status hukum syariah atas setiap perbuatan/pilihan yang hendak dia lakukan; apakah termasuk haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah (halal). Lima tolok-ukur hukum inilah yang harus dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan dunianya, bukan yang lain, semisal asas kemanfaatan. Jika asas manfaat yang dijadikan ukuran untuk menetapkan status hukum perbuatan manusia, ini sama saja dengan menjadikan hawa nafsu dan akal sebagai sumber hukum. Sikap demikian jelas batil dan dosa besar di sisi Allah SWT. Sebab, hanya Allahlah Al-Hâkim (Pemilik kedaulatan untuk memberikan status hukum atas setiap perkara), sebagaimana firman-Nya:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ[

Sesungguhnya hak membuat hukum itu hanya ada pada Allah (QS al-An’am [6]: 57).

Lebih dari itu, setiap sikap dan pilihan, termasuk dalam Pemilu, akan dimintai tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT kelak:

]أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى[

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS al-Qiyamah [75]: 36).

Bukan Sekadar Memilih Orang

Terkait dengan Pemilu, dalam satu kesempatan bertepatan dengan Peringatan Maulid Rasul saw. beberapa waktu lalu, Wapres RI Jusuf Kalla pernah menghimbau, ”Pilihlah pemimpin seperti Nabi saw.; pemimpin yang baik perlu untuk memperbaiki legislasi (pembuatan undang-undang, red.).” (Republika, 18/3).

Tentu benar, memilih pemimpin seperti Nabi saw. adalah ikhtiar yang harus kita lakukan. Namun, tentu kita pun harus memilih sistem/aturan yang digunakan oleh Nabi saw. dalam kepemimpinannya. Dalam konteks negara, jika kita benar-benar ingin merujuk kepada Nabi saw., maka kepemimpinan Nabi saw. di Madinah al-Munawwarah—yang saat itu merupakan Daulah Islamiyah (Negara Islam)—itulah yang mesti diteladani dan dijalankan. Saat itu, sebagai kepala Negara Islam, Nabi saw. hanya menerapkan sistem Islam dalam mengatur negara. Dengan kata lain, hanya dengan syariah Islamlah Nabi saw. saat itu mengatur masyarakatnya.

Karena itu, seandainya di negeri ini orang yang terpilih sebagai pemimpin secara moral sangat baik, tetapi sistem/aturan yang mereka jalankan bukan sistem/aturan syariah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi saw., tentu beragam persoalan di negeri ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mengapa? Sebab, sebagai kepala negara, Nabi saw. memimpin dan mengatur masyarakat tidak sekadar dengan mengandalkan akhlak atau moralnya, tetapi sekaligus dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepadanya.

Yakinlah bahwa perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik tidak bisa hanya dengan ‘mengubah’ (mengganti) sosok pemimpinnya, tetapi juga mengubah sistem/aturan yang dijalankannya; yakni dari sistem sekular—sebagaimana saat ini—ke sistem Islam, yang diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara total dalam negara. Hal ini penting karena satu alasan: menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam. Alasan lainnya, karena sistem sekular—dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya—saat ini telah terbukti rusak dan gagal menciptakan kesejahteraan lahir-batin dan keadilan bagi semua pihak. Logikanya, buat apa kita mempertahankan sistem yang telah terbukti rusak dan gagal? Padahal jelas Allah SWT telah menyediakan sistem yang baik, yakni sistem syariah:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[

Sistem hukum Jahiliahkah yang kalian inginkan? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin (QS al-Maidah [5]: 50).

Jangan Pasif

Tentu bisa dianggap tidak bertanggung jawab atas nasib negeri ini jika dalam menghadapi Pemilu kita hanya duduk manis seraya melipat tangan di dada, tidak berbuat apa-apa demi perubahan. Akan tetapi, tentu tidak bijak pula jika Pemilu seolah dianggap ‘obat mujarab’ yang pasti menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika yang diinginkan adalah perubahan semu dan sesaat (sekadar pergantian orang-orang yang duduk di struktur pemerintahan dan di DPR), mungkin iya. Namun, jika yang dikehendaki adalah perubahan hakiki dan mendasar (dari sistem sekular ke sistem yang berlandaskan syariah Islam), maka masuk dalam pusaran sistem demokrasi justru sering melahirkan bahaya nyata: pengabaian terhadap sebagian besar hukum-hukum Allah SWT. Pasalnya, demokrasi memang sejak awal menempatkan kedaulatan (kewenangan membuat hukum) berada di tangan manusia (rakyat), bukan di tangan Allah SWT. Akibatnya, hukum-hukum Allah SWT selalu tersingkir, dan hukum-hukum buatan manusialah yang selalu dijadikan pedoman. Inilah yang sudah terbukti dan disaksikan secara jelas di dalam sistem demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini.

Karena itu, ‘Pesta Demokrasi’ alias Pemilu (yang sekadar diorientasikan untuk memilih orang) tidak seharusnya melalaikan umat Islam untuk tetap berjuang di dalam mewujudkan sistem kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan dll) yang berdasarkan syariah Islam. Umat Islam tidak boleh pasif! Apakah kita akan berdiam diri, tidak membela hukum-hukum Allah SWT yang sudah begitu lama dicampakkan? Bukankah kaum Muslim wajib hidup dengan tuntunan (syariah Islam) yang haq? Jika memang kita sedang berjuang untuk menegakkan syariah Allah SWT dan mengembalikan kehidupan Islam, apakah langkah perjuangan kita sudah benar mengikuti manhaj Rasulullah saw.? Ataukah sikap pragmatis telah menjadi penyakit yang menjangkiti diri kita dalam perjuangan?

Marilah kita merenungkan dengan baik firman Allah SWT berikut ini agar sikap dan pilihan kita tidak melahirkan madarat yang lebih dahsyat, yakni azab-Nya:

]قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا () الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا[

Katakanlah, "Maukah kalian Kami beritahu ihwal orang-orang yang paling merugi karena perbuatannya? Mereka itulah yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS al-Kahfi [18]:103-104).

Semoga Allah SWT melimpahkan hidayah dan taufik atas umat ini, yang bisa menggerakkan mereka untuk aktif dalam memperjuangkan tegaknya syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Semoga Allah SWT pun selalu membimbing umat ini agar senantiasa menapaki manhaj perjuangan Rasulullah saw., sejak memulai dakwahnya di Makkah hingga berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah, sekaligus menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Amin. []

KOMENTAR:

Presiden SBY: Mengemplang utang luar negeri itu tidak punya harga diri (Koran Tempo, 7/4/2009) Bagaimana dengan tetap menghamba kepada pihak asing dengan terus menambah utang baru?!

Baca Selengkapnya......

Pendidikan Mahal, Buah Pemerintahan Kapitalis

[Al-Islam 453] Mulai tahun 2009 ini masyarakat dijanjikan sekolah gratis untuk tingkat SD dan SMP. Janji yang mulai diiklankan sejak masa tenang Pemilu lalu ini mendapat sambutan baik dari masyarakat. Masyarakat mulai merenda angan: anak-anak mereka akan bisa mengenyam pendidikan minimal hingga kelas IX atau tamat SMP.

Sayangnya, janji itu berlaku untuk sekolah negeri. Padahah faktanya, banyak siswa yang tidak tertampung oleh sekolah negeri dan terpaksa harus bersekolah di sekolah swasta. Untuk itu, tentu saja mereka tetap harus keluar biaya mulai uang masuk, seragam, buku hingga biaya tetek-bengek lainnya yang belum tentu berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. bahkan untuk sekolah-sekolah berkualitas atau sekolah terpadu biaya yang harus dikeluarkan sangat besar. Uang masuknya saja rata-rata mencapai jutaan, sementara uang SPP-nya mencapai ratusan ribu rupiah perbulannya.

Untuk sekolah SLTA belum ada sekolah gratis secara nasional, termasuk sekolah negeri. Artinya, seluruh masyarakat harus menanggung banyak biaya demi kelangsungan sekolah anak-anak mereka di SLTA, negeri atau swasta. Ambil contoh salah satu SLTA negeri di Bogor yang mematok uang masuk sebesar 5 juta rupiah. Untuk sekolah yang bertaraf internasional uang masuknya saja bisa mencapai 10 juta rupiah.

Lalu untuk tingkat pendidikan tinggi, PTN telah “diswastanisasi” melalui UU BHP. Memang, Pemerintah masih mengucurkan dana ke PTN. Namun, sebagian besar biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi harus ditanggung oleh PTN itu sendiri. PTN selanjutnya membebankan biaya itu kepada para mahasiswa. Dari sinilah kita akhirnya mendengar biaya masuk PTN yang dari hari ke hari makin mahal, mencapai puluhan juta rupiah, bahkan untuk masuk fakultas kedokteran mencapai lebih dari 100 juta rupiah. Uang SPP-nya pun tidak ada lagi yang bisa dikatakan “murah”. Rata-rata SPP Perguruan Tinggi Negeri mencapai jutaan rupiah, bahkan ada yang mencapai 25 juta rupiah persemester.
Akibat Negara yang Makin Kapitalistik

Penyelenggaraan pendidikan hanya sebagian dari pengaturan berbagai urusan masyarakat. Corak pengaturan urusan-urusan masyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang diadopsi negara. Mahalnya biaya sekolah adalah dampak logis dari diadopsinya ideologi Kapitalisme oleh negara ini. Ideologi Kapitalisme nyata-nyata ‘mengharamkan’ peran negara yang terlalu jauh dalam menangani urusan-urusan masyarakat. Dalam Kapitalisme, peran negara/pemerintah harus diminimalkan. Dalam sistem Kapitalisme, negara/pemerintah memang dibuat tidak mampu membiayai penyelenggaraan urusan masyarakat. Pasalnya, Kapitalisme menetapkan sumber-sumber kakayaan tidak boleh dikelola negara, tetapi harus diserahkan kepada swasta. Bahkan jika negara sudah terlanjur memiliki BUMN yang mengelola sumberdaya alam, misalnya, maka BUMN itu harus diprivatisasi (dijual kepada swasta). Dengan begitu negara tidak memiliki sumber pandapatan dari sumber-sumber kekayaan alam yang bisa membuat negara mampu membiayai berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan.

Ideologi Kapitalisme juga mengharuskan pengelolaan urusan masyarakat diserahkan kepada swasta. Semua sektor harus dibuka untuk swasta dan harus dibuka untuk dijadikan sebagai lahan bisnis, termasuk pendidikan. Negara menurut ideologi Kapitalisme tidak boleh menangani langsung urusan masyarakat. Semuanya harus dibuka untuk swasta. Karena itu, munculnya undang-undang yang mem-“privatisasi” lembaga sekolah hanyalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang dianut negeri ini.

Akibatnya, biaya sekolah terus meroket. Sekolah tiba-tiba menjadi barang mewah bagi kebanyakan anggota masyarakat. Kalaupun ada sekolah gratis, itu hanya sampai tingkat SMP, dan hanya berlaku bagi sekolah negeri. Selebihnya, sekolah tingkat lanjut hanyalah untuk mereka yang mampu menanggung biayanya, tidak untuk orang-orang miskin.

Mungkin orang akan berkata bahwa adanya sekolah gratis sudah merupakan hal yang bagus. Sebab, baru segitulah kemampuan maksimal negara/pemerintah untuk memberikan sekolah gratis. Pasalnya, negara/pemerintah tidak memiliki sumberdana yang cukup untuk membiayai lebih dari itu.

Privatitasi (penjualan BUMN kepada pihak swasta) yang diamanahkan oleh undang-undang terus memperkecil sumber pendapatan negara. Akibatnya, untuk membiayai semua urusannya, negara harus membebani rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang terus meningkat. Jika terjadi masalah, kelangsungan sekolah gratis itu bisa terancam, negara kemudian menurunkan anggaran pendidikan. Seperti sekarang, diberitakan Pemerintah akan menurunkan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2010 dari 207,41 triliun pada tahun 2009 (21%) menjadi 195,63 triliun atau 20,6% dari APBN (Kompas, 27/04/09).

Keinginan masyarakat untuk menikmati sekolah berkualitas dengan biaya murah dalam pemerintahan kapitalis jelas bertentangan dengan ideologi Kapitalisme yang diadopsi. Jika masyarakat tetap menghendaki itu, yaitu negara menanggung biaya pendidikan, maka masyarakat pun harus siap menanggung beban berat. Sebab, biaya untuk itu harus ditanggung rakyat dalam bentuk pungutan pajak yang tinggi. Sekali lagi, semua itu adalah konsekuensi logis dari ideologi Kapitalisme yang diadopsi negeri ini.

Pada akhirnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus puas dengan sekolah apa adanya, dan membuang mimpi untuk menikmati pendidikan tinggi. Itu artinya, mereka harus membuang mimpi memperbaiki nasib keluarga. Jika dulu sekolah bisa dikatakan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib, maka dengan mahalnya biaya sekolah, peluang perbaikan nasib itu seakan ditutup untuk mereka yang kurang mampu. Jadilah mereka yang kurang mampu terjebak terus-menerus secara turun-temurun dalam lingkaran keterpurukan.

Pendidikan tinggi akhirnya menjadi “hak khusus” kalangan kaya. Jika akhirnya sistem yang ada terkesan lebih berpihak kepada kalangan kaya, maka memang seperti itulah tabiat dari sistem Kapitalisme. Ideologi Kapitalisme memang didesain untuk selalu berpihak kepada orang-orang kaya, terutama para pemilik modal, dengan mengorbankan rakyat kebanyakan.
Islam Menjamin Pendidikan Bagi Semua

Bertolakbelakang dengan ideologi Kapitalisme yang meminimalkan peran negara, ideologi Islam justru menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh atas pemeliharaan urusan-urusan masyarakat. Rasulullah saw. menegaskan:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertangunggjawaban atas pengurusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin (kepala Negara) adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Di antara pengurusan rakyat adalah pendidikan. Jadi, dalam Islam negara berkewajiban memelihara urusan pendidikan rakyatnya. Negara tidak boleh lepas tangan dan menyerahkan pendidikan kepada swasta. Negara justru harus bertanggung jawab penuh atas masalah pendidikan rakyatnya.

Lebih dari itu, Islam menetapkan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan utama masyarakat secara umum yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara. Negara wajib menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis. Inilah prinsip dasar dalam sistem Islam. Prinsip dasar ini jelas bertolak belakang dengan prinsip dasar dalam sistem Kapitalisme yang sedang diterapkan di dunia, termasuk di negeri ini.

Berdasarkan pinsip ini, jika negara lalai atau abai terhadap masalah pendidikan rakyat maka kelalaian itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, dan tentu saja penguasa berdosa karenanya. Prinsip inilah yang menjadikan para pemimpin dalam Islam selalu fokus terhadap pendidikan. Rasulullah saw. telah mencontohkan hal ini.

Rasul saw. langsung mendidik masyarakat. Beliau juga mengangkat orang-orang yang bertugas memberikan pengajaran kepada masyarakat. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Hisyam di dalam Sîrah Ibn Hisyâm, Rasul juga pernah menjadikan tebusan bagi tawanan Perang Badar dalam bentuk mengajari anak-anak kaum Anshar membaca dan menulis. Untuk semua itu masyarakat tidak dipungut biaya sepeser pun. Prinsip itu pula yang mendorong para khalifah setelah beliau membangun berbagai fasilitas pendidikan secara cuma-cuma untuk rakyat. Penyelenggaraan pendidikan berkualitas disediakan untuk rakyat yang menginginkannya tanpa dipungut biaya. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Khalifah Mu’tashim billah, Khalifah al-Mustanshir, Sultan Nuruddin dan para penguasa Islam lainnya sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Wajar jika sepanjang kekuasaan Kekhilafahn Islam, lahir banyak ulama, cendekiawan dan ahli di berbagai bidang. Mereka melahirkan temuan-temuan spektakuler yang mendahului ilmuwan-ilmuwan Barat puluhan bahkan ratusan tahun lebih dulu.

Sistem Islam memungkinkan mengulang semua itu. Pasalnya, Islam bukan hanya menetapkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas secara gratis bagi rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim. Islam juga menetapkan sistem kepemilikan yang menetapkan barang-barang tambang dan kekayaan alam lainnya menjadi milik bersama seluruh rakyat yang pengelolaannya diwakilkan kepada negara, yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan ketentuan itu, negara akan selalu memiliki dana yang cukup untuk membiayai pelayanan pendidikan gratis untuk rakyat secara mamadai.
Wahai Kaum Muslim:

Mahalnya biaya sekolah adalah akibat logis dari pemeritahan kapitalis yang menerapkan ideologi Kapitalisme di negeri ini. Selama ideologi Kapitalisme diadopsi dan diterapkan di negeri ini, biaya sekolah mahal akan terus menjadi masalah.

Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa negara wajib memelihara urusan rakyat, termasuk pendidikan. Bahkan negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali secara gratis. Untuk itu, Islam juga menetapkan sistem ekonomi yang akan menjamin negara bisa selalu membiayai penyediaan pendidikan gratis itu.

Karenanya, untuk mengakhiri masalah mahalnya biaya sekolah secara tuntas, ideologi dan sistem Kapitalisme harus segera dicampakkan, kemudian diganti dengan ideologi dan sistem Islam. Intinya, syariah Islam harus segara ditegakkan secara total dalam seluruh aspek kehidupan, dalam institusi Khilafah. Hanya dengan itulah kita akan mendapatkan kehidupan yang di dalamnya Allah menurunkan berkah dari langit dan bumi. Allah swt berfirman:

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ[

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf [7]: 96)

Wallâhu a’lam. []

Komentar:

Proyek Bank Dunia Hancurkan Hutan (Republika, 28/4/2009)

Bank Dunia, IMF, PBB dll hanyalah alat kapitalis; tak layak dipercaya.

Baca Selengkapnya......

09 Mei 2009

Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Pendahuluan
Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol Islam.
Koalisi sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja, koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu (26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr. Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan dengan kritis,”PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis Yahudi. Bagaimana bisa?” (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).
Maka dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hukum syara’ tentang koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler.
Pengertian dan Fakta Koalisi
Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).
Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).
Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).
Adapun koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.
Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi - PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi - PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Koalisi pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Partai Asy-Sya’ab, yaitu partai buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).
Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.
Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler
Dengan meneliti fakta (manath) koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.
Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).
Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.
Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).
Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :
Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.
Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :
Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم

“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).
Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.
Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(QS Huud [11] : 113)
Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة…


“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.
Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).
Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syaraiah Islam yang menyeluruh.
Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (’ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).
Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا


“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).
Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).
Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.
Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).
Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).
Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :


أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ


“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).
Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.
Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :

الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ

“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)
Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.
Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh eksekutif (Presiden dan para menteri) maupun oleh legislatif (parlemen). Wallahu a’lam. [ ]

**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Al-Ja’bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam,
Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da’wah ila Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah)
Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur`an dan Sunnah (Min Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)
Al-Syarif, Muhammad Syakir, 1411 H, Haqiqah Al-Dimuqrathiyyah, (Tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)
———-, 1428 H, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah : ‘Ardh wa Naqd, (Riyadh : tanpa penerbit).
Anonim, 2004, Era Koalisi, mhttp://nurdpcpkssapeken.blogspot.com/2009/01/era-koalisi.html
Echols, John M. & Hassan Shadily, 1983, Cetakan XII, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Hilal, Iyad, 2002, Perjanjian-Perjanjian Internasional dalam Pandangan Islam (Al-Mu’ahadat al-Dauliyah fi al-Syariah al-Islamiyah), Penerjemah Mahbubah, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah).
Jurdi, Fajlurahman, 2009, Aib Politik Islam : Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan, (Yogyakarta : Antonylib).
Kiswanto, Heri, 2008, Gagalnya Peran Politik Kyai Dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional, (Yogyakarta : Nawesea Press).
Mashad, Dhurorudin, 2008, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar).
Mufti, Muhammad Ahmad, 2002, Naqdh Al-Judzur Al-Fikriyah li Al-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, (Tanpa tempat penerbit : Maktabah Al-Malik Fahad).
Murdiati, Dini, 1999, Faktor Determinan Koalisi Partai Politik, http://kampusciamis.com/content/view/71/1/
Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indinesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka).
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (A History of Modern Indonesia Sinve 1200), (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta).
Sabili, “KPU Makin Tidak Cerdas”, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009
Thabib, Hamd Fahmi, Al-Mu’ahadat fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.p : Baitul Maqdis), 2002
Zallum, Abdul Qadim, 1990, Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, (Tanpa tempat penerbit : Hizbut Tahrir).

Baca Selengkapnya......

04 Mei 2009

IMUNISASI HALAL

Vaksin Masih Perlukah?
Pengamat Kesehatan:
Ummu Salamah
Nabawi Medical Center

Sehubungan dengan adanya penyakit-penyakit yang berkembang saat ini dan telah beredarnya pemahaman metode kedokteran yang disebarluaskan oleh metode kedokteran barat, maka sebagai umat muslim sangat prihatin sekali dengan kondisi ini.
Metode kesehatan ala modern dengan teori trial and error mengatakan bahwa, penyakit itu bisa disembuhkan bila disuntikkan virus dan bakteri yang bersumber dari penyakit, agar manusia kebal. Sehingga manusia dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah, tetapi tidak terkena penyakitnya.
Contohnya, agar anak-anak tidak terkena penyakit kelamin/HIV atau penyakit kelamin lainnya ketika mereka melakukan sex bebas, maka disuntikkan vaksin HIV pada usia anak-anak. Itulah yang dikutip dari buku “What your doctor may not tell you about children’s vaccination”, oleh Stephanie Cave & Deborah Mitchell, keduanya dokter dari Amerika.
Sentra pengendalian penyakit di AS, pada februari 1997 (ACIP) dari CDL, berkumpul untuk membuat kebijakan vaksin bagi AS. Neal Haley MD, ketua komite penyakit menular dari Akademi AS untuk dokter spesial anak, mengajukan topik vaksin HIV. Ia mengatakan “kami sungguh-sungguh melihat bahwa usia 11 s/d 12 tahun sebagai usia target vaksin guna pencegahan penyakit seksual”. Jadi orang tua dari para bayi, balita atau anak kecil akan segera menghadapi kemungkinan mendapat vaksin HIV untuk anak-anak. Vaksin ini dimaksudkan untuk mencegah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti khlamidia, herpessimpleks, neisseria gonorhea, HIV/AIDS dll.
Jadi pemikiran mereka, jika tubuh manusia disuntikkan virus yang dilemahkan, maka tubuh akan melakukan anti body terhadap virus tadi. Virus yang disuntikkan ke tubuh itu adalah virus yang diambil dari cairan darah orang yang terkena penyakit AIDS/HIV, Hepatitis B, Herpes, dll, yang melakukan sex bebas, peminum alkohol, narkotika dan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah. Lalu dibiakkan di media-media seperti ginjal kera, lambung babi, ginjal anjing, sapi anthrax, menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan, ditambahkan merkuri/timerosal/air raksa atau logam berat sebagai bahan pengawetnya. Vaksin-vaksin yang dihasilkan antara lain adalah vaksin polio, MNR, rabies, cacar air dll.
Celakanya bayi-bayi tak berdosa yang tidak melakukan kerusakan, pelanggaran terhadap hukum Allah, sengaja diberikan virus-virus itu, dengan pemikiran agar anak-anak itu kebal. Sehingga ketika melanggar hukum allah, dimungkinkan tidak terkena azab-Nya. Celakanya pula, ini diberikan kepada anak-anak muslim.
Sebenarnya vaksin-vaksin ini juga telah banyak memakan korban anak-anak Amerika sendiri, sehingga banyak terjadi penyakit kelainan syaraf, anak-anak cacat, autis, dll. Tetapi penjualan vaksin tetap dilakukan walau menimba protes dari rakyat Amerika. Hanya saja satu alasan yang negara Amerika pertahankan, yaitu bahwa vaksin adalah bisnis besar.
Sebuah badan peneliti teknologi tinggi internasional yaitu Frost & Sullivan, memperkirakan bahwa pangsa pasar vaksin manusia dunia akan menguat dari 2,9 miliar USD tahun 1995, melonjak menjadi lebih dari 7 miliar USD tahun 2001. Ini diambil dari ideologi kapitalis yang mereka emban, hingga membunuh bayi, anak-anak atau manusia lain, mereka lakukan demi uang dan kekuasaan.
Ketika anak-anak terimunisasi, mulailah jerat obat-obatan produk AS membanjiri negeri-negeri muslim yang tunduk pada AS dan membiarkan rakyatnya sendiri teracuni akibat pemikiran kapitalis AS. Obat-obat beracun yang mahal harganya ini praktis menguras keuangan orang-orang muslim, teracuni obat-obat kimia sintetis termasuk benda-benda haram, agar doa-doa orang miskin tertolak oleh Allah SWT. Ini semua akibat kebodohan orang-orang muslim, yang tidak percaya kepada metode kesehatan menurut Rasulullah SAW, yaitu Thibbun Nabawy.
Dalam hal obat-obatannya, pengobatan Thibbun Nabawy yang murni alami, tidak boleh dicampuradukkan dengan pengobatan yang menggunakan bahan kimia sintetis (QS. 2 : 42). Tetapi dalam hal teknologi misalnya alat-alat radiologi, stetoskop, bladpressure (alat pengecekan tekanan darah) dll, boleh saja kita gunakan. Jadi Indonesia membutuhkan rumah sakit dengan peralatan canggih, tetapi obat-obatan menggunakan yang alami dan bukan dari barang/benda haram.
Jemaah haji Indonesi juga diwajibkan divaksin dengan vaksin miningitis. Dimana keharusan ini adalah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, yang berada dibawah naungan WHO dan PBB. Menurut informasi yang di dapatkan dari Departemen Kesehatan RI bahwa vaksin miningitis ini adalah salah satu syarat untuk melaksanakan ibadah haji. Jadi setiap calon jemaah haji akan mendapatkan sertifikat telah tervaksin/terimunisasi. Kalau tidak maka tidak diberangkatkan. Apakah ini tidak berlebihan?
Apakah vaksin miningitis? Vaksin ini diberikan dengan maksud (menurut mereka) untuk melindungi jemaah haji indonesia dari penyakit meninglokal, yang disebabkan oleh organisme Neisseria meningitis yang menyebabkan infeksi pada selaput otak dan meningokomeia atau infeksi darah atau keracunan darah, yang penyebarannya melalui bersin batuk dan bicara.
Vaksin yang disuntikan ke tubuh calon jemaah haji ini adalah bakteri meningokokus yang awalnya diambil dari cairan darah orang amerika yang terkena meningitis. Bakteri ini timbul karena pola kebiasan meminum alkohol dan perokok aktif dan kehidupan malam yang serba bebas.
Vaksin ini tidak juga memberikan perlindungan utuh. Vaksin ini hanya mengurangi resiko penyakit meningokal yang disebabkan oleh Serogroup A, C, Y dan W 135. Sehingga 30% perkiraan kasus penyakit tetap terkena pada seluruh kelompok usia. Vaksin efektif hanya untuk 3 s/d 5 tahun. Vaksin ini mengandung timerosal/air raksa sebagai bahan pengawet serta merupakan salah satu bahan pencetus kanker (karsinogen) dan kelainan-kelainan syarat, sehingga berdampak buruk pada sel-sel otak dan organ-organ tubuh jemaah haji. Beberapa jamaah haji Indonesia mengalami gejala-gejala seperti biru-biru di seluruh tubuh, jantung berdebar-debar, nyawa seperti melayang, rasa ketakutan, pusing, mual, setelah divaksin.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah vaksinasi merupakan rukun haji? Kini vaksin tersebut dapat menyebabkan seseorang batal berangkat haji. Kedudukannya sudah melebihi rukun dan wajib haji. Ada apa sebenarnya di balik itu semua?
Kehalalan Vaksin
Vaksinasi adalah aktifitas yang tidak asing lagi pada kalangan ibu-ibu yang memiliki bayi atau balita. Kegiatan ini sesungguhnya adalah memberikan suatu zat tertentu pada tubuh si anak baik secara oral atau pun injeksi. Tujuan dari vaksinasi adalah pembentukan kekebalan tubuh si anak bayi/balita sesuai dengan vaksin yang disuplai.
Tapi apakah selama ini kita mengetahui dari bahan apa dan bagaimana cara vaksin untuk bayi atau pun balita kita dibuat? Kita mungkin lebih sering mempertimbangkan apa reaksi yang harus dipantau dari penggunaan vaksin tersebut pada bayi atau balita kita. Tetapi sangat sedikit bahkan mungkin luput dari pantauan kita dari apa vaksin-vaksin tersebut dihasilkan.
Jurnal halal edisi kali ini memaparkan beberapa informasi seputar vaksin yang digunakan di masyarakat kita, pemaparan ingredien vaksin yang umumnya digunakan ditinjau dari segi kehalalanya.
Apa itu vaksin dan vaksinasi
Vaksin adalah sebuah senyawa antigen yang berfungsi untuk meningkatkan imunitas tubuh terhadap virus. Terbuat dari virus yag telah dimatikan atau "dilemahkan" dengan menggunakan bahan-bahan tambahan lainnya seperti formalaldehid, thymerosal dan lainnya. Sedangkan vaksinasi adalah suatu usaha memberikan vaksin tertentu kedalam tubuh untuk menghasilkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit /virus tersebut.
Jenis-jenis vaksinasi
Jenis-jenis vaksinasi yang ada antara lain vaksin terhadap penyakit hepatitis, polio, Rubella, BCG, DPT, Measles –Mumps-Rubella (MMR) cacar air dan jenis penyakit lainnya seperti influenza. Di Indonesia sendiri praktek vaksinasi yang hampir selalu dilakukan pada bayi dan balita adalah Hepatitis B, BCG, Polio dan DPT. Selebihnya seperti vaksinasi MMR adalah bersifat tidak wajib. Ada pun vaksinasi terhadap penyakit cacar air (smallpox) termasuk vaksinasi yang sudah tidak dilakukan lagi di Indonesia.
Vaksin dan sistem kekebalan tubuh
Pemberian vaksin dilakukan dalam rangka untuk memproduksi sistem immune (kekebalan tubuh) seseorang terhadap suatu penyakit. Berdasarkan teori antibody, ketika benda asing masuk seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh manusia, maka tubuh akan menandai dan merekamnya sebagai suatu benda asing. Kemudian tubuh akan membuat perlawanan terhadap benda asing tersebut dengan membentuk yang namanya antibody terhadap benda asing tersebut. Antibodi yang dibentuk bersifat spesifik yang akan berfungsi pada saat tubuh kembali terekspos dengan benda asing tersebut.
Dr. J. Anthony Morris, former Chief Vaccine Control Officer and research virologist, US FDA mengatakan bahwa ada banyak hal yang membuktikan bahwa imunisasi pada anak lebih banyak dampak buruknya daripada manfaatnya.
Dr. Willian Howard dari USA mengatakan bahwa tubuh telah memiliki metodenya sendiri untuk pertahanan, yang tergantung pada vitalitas tubuh pada saat tertentu. Jika vitalitas tubuh cukup, maka tubuh akan bertahan terhadap seluruh infeksi, tetapi sebaliknya jika tidak maka pertahanan akan lemah.
Sesungguhnya kita tidak dapat mengubah vitalitas tubuh menjadi lebih baik justru dengan menggunakan berbagai jenis racun (vaksin) kedalam tubuh tersebut.
Vaksin dan Tinjauan Kehalalannya
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang diselenggarakan di Indonesia pada Agustus tahun lalu, sempat bermasalah dibeberapa wilayah di Indonesia.Permasalahannya beberapa daerah tersebut (Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Banten) menolak pemberian vaksin polio karena diragukan kehalalannya. Yaitu dalam proses pembuatan vaksin tersebut menggunakan ginjal kera sebagai media perkembangbiakan virus, demikian penjelasan dari Utang Ranuwijaya anggota Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI. Alhasil keputusan MUI No.16 tahun 2005 mengeluarkan fatwa kehalalan atas vaksin polio tersebut.
Memang kalau kita mau telaah lebih lanjut, masih banyak sekali jenis-jenis vaksin yang bersumber dari bahan-bahan yang diharamkan. Seorang pakar dari Amerika mengatakan bahwa vaksin polio dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda dan ekstraks mentah lambung babi.
Selain sumber-sumber diatas, beberapa vaksin juga dapat diperoleh dari aborsi calon bayi manusia yang sengaja dilakukan. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A dan MMR diperoleh dengan menggunakan fetal cell line yang diaborsi, MRC-5 dan WI-38.Vaksin yang mengandung MRC-5 dan WI-38 adalah beberapa vaksin yang mengandung cell line diploid manusia.

Penggunaan janin bayi yang sengaja digugurkan ini bukan merupakan suatu hal yang dirahasiakan kepada publik. Sel line janin yang biasa digunakan untuk keperluan vaksin biasanya diambil dari bagian paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus dan hati yang diperoleh dari aborsi yang terpisah. Penamaan isolat biasanya dikaitkan dengan sumber yang diperolah misalnya WI-38 adalah isolat yang diperoleh dari paru-paru bayi perempuan berumur 3 bulan.
Ada suatu kaidah usul Fiqh yang mengatakan bahwa mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil manfaatnya. Demikian alasan yang dijadikan dasar hukum pengambilan keputusan terhadap kehalalan vaksin polio sekalipun diketahui bahwa vaksin tersebut disediakan dari bahan yang tidak diperkenankan dalam Islam.
Namun demikian kita tidak bisa hanya bertahan pada kondisi darurat, melainkan juga melakukan usaha untuk perbaikan. Seperti misalnya usaha yang akan dilakukan oleh PT. Bio Farma yang dalam 3 tahun mendatang akan memproduksi vaksin polio halal. Masih banyak lagi area bagi masyrakat muslim yang kompeten dalam bidang tersebut, untuk melakukan perbaikan. Sehingga Indonesia, yang jumlah balitanya cukup banyak (data tahun 2005: 24 juta balita Indonesia), dimana hampir 90 % nya adalah muslim merasa aman dan tentram untuk melakukan vaksinasi-imunisasi. Siapa dari kita yang akan menangkap peluang ini? Wallahualam bisshawab.
KONSEP IMUNISASI HALAL HALALAN THAYYIBAN
1. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang memaksimalkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
2. Memberikan asupan nutrisi atau zat gizi atau makanan tertentu yang meminimalkan dan menghilangkan zat yang bersifat menurunkan kerja sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
3. Menjauhkan dan menghentikan asupan nutrisi yang bersifat menurunkan pembangunan dan pemeliharaan sistem imun atau kekebalan tubuh manusia.
4. Tidak memberikan vaksinasi yang mengandung Toksin / Racun bahan berbahaya yang menjadi ancaman kesehatan manusia:
a. Kimiawi Sintetis
b. Logam Berat (Heavy Metal)
c. Hasil Metaboit parsial
d. Toksin Bakteri
e. Komponen dinding sel
5. Tidak memberikan vaksinasi dan obat-obatan yang mengandung bahan yang haram secara syari’at:
a. Alkohol dan turunannya, yang bersifat seperti alkohol, yaitu yang apabila dikonsumsi secara banyak akan memabukkan.
b. Tidak mengandung Darah, daging Babi, dan hewan yang ketika disembelih tidak menyebutkan nama Allah.
c. Tidak daging yang diharamkan menurut syari’at, contoh: Binatang Buas, Bertaring, bangkai dll.
d. Tidak dikembangbiakkan di dalam darah hewan apapun, daging babi, dan di dalam makhluk hidup yang diharamkan menurut syari’at.
6. Membiasakan untuk mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat membangun sistem kekebalan tubuh manusia.
7. Membiasakan untuk tidak mengkonsumsi menu makanan sehari-hari yang bersifat menururnkan sistem kekebalan tubuh manusia. (Diambil dari www.imunisasihalal.com)

Baca Selengkapnya......